Zahraton Nawra
Untuk satu rasa
yang tak berdevenisi, kuikhlaskan ia mengalir pada titah Ilahi.
Karna cinta sesungguhnya, tak kan lahir di balik
dinding facebook.
Aku
tak melihat bintang di langit malam. Sepertinya kabut benar-benar merdeka, telah
berhasil mengelabui hatiku. Mungkin aku tak punya hak membatasi perasaan
terhadap orang lain. Tapi, ini sudah keterlaluan. Membiarkan ia bersarang di
dalamnya, seperti menciptakan bom Molotov yang meletup-letup tanpa bisa
terkendali.
“Randa, apa kabar dia?” Sejak hilang kontak sebulan
yang lalu, aku hampir gila karna rindu. Mungkinkah dia sengaja menghindar karna
sudah ada yang punya. Ah. Setidaknya kalau pun benar, aku tetap datang di acaranya
walau sebagai tamu.
Randa… Randa… lupakah engkau bagaimana pertama kali
engkau menarik hatiku bersamamu? Tidak. Aku yakin engkau tidak lupa. Bagaimana
mungkin engkau lupa, sedangkan ikrar cintamu yang begitu manis masih terasa
hingga ujung rongga, sampai kini. Aku benar-benar gila, Randa, kamu harus
bertanggung jawab.
-----
Narenza,
itu namaku. Hanya tujuh huruf, tidak lebih. Di komunitas menulis, teman-teman
memanggilku Naren, tak terkecuali ayah dan ibu. Namun aku kaget, karna ada
orang lain yang memanggil dengan panggilan asing.
“Nza”
Ucapmu sambil berlalu di hadapan.
Aku
bingung harus tertawa atau menangis mendengar nama tersebut. Kedengarannya
begitu aneh. Tapi, jujur, sejak itu, aku mulai merindukan panggilan sama
darimu. Tanpa dikomando, aku mulai melakukan aksi cepat tanggap. Ini bukan yang
sering dilakukan oleh tim medis di dunia kedokteran. Lebih tepatnya, aku
menobatkan diri, menjadi pengagum rahasia di akun facebookmu. Klise sekali
bukan. Mencari tahu semua tentangmu, mulai dari hoby, makanan, setatus hingga jumlah yang ngelike photo profil.
Awalnya
aku begitu takut menambahkanmu sebagai teman di facebook. Takut ditolak
pertemanan atau ekstrimnya malah engkau blokir. Setelah menimbang-nimbang rasa.
Bermodalkan kagum yang menjelma suka, aku melakukannya.
Untuk
satu rasa yang kadarnya mendewa. Aku mengorbankan malu, menebalkan muka sebelum
benar-benar menjelma kepiting rebus dalam balutan mie Aceh. Klik
pertemanan terkirim. Aku mematikan koneksi hotspot, sebelum akhir terlelap.
Berharap engkau menerimanya esok buta.
Satu minggu
berlalu, setelah kejadian di facebook…
Pukul
3 dini hari aku bangun. Membiarkan mata menguap dengan sendirinya. Kucari hp,
sebelum menemukanmu dalam deretan kontak facebook yang masih menyala. Aku
membuka timeline kontakmu, mencari tahu kala-kalau aku salah lihat. Putus. Ya,
engkau menghapus permintaan pertemanan. Entah apa rasanya, yang jelas aku ingin
menangis.
Baru
kali ini hatiku seolah diiris karna patah. Di saat semua orang menginginkan
bersama, tak pernah menolak ajak ku, lingkungan yang merindukan kehadiran. Dan
kau, Muza. Tak lama, aku mendapati inbox darimu.
Assalamu’alaikum
wr wb…
Nza, apa yang
membuatmu menambahkan aku sebagai teman?
Apa engkau
menemukan sisi lain dalam diri?
Dosa mana yang
telah membutakan matamu?
Aku menolak. Aku
menolak. Aku menolak.
Bukan aku benci.
Tak pantas aku benci pada sosok yang tak salah.
Nza, ketahuilah…
Cinta
sesungguhnya tak kan lahir di balik dinding facebook. Senyum
Sejak itu, aku tak
cukup berani menyapa, meski hanya menyelip satu emo di setiap status yang
engkau bagikan. Engkau pergi… benar-benar pergi… tapi tidak meninggalkanku
sepenuhnya.
Hari berlalu begitu
berat. Dan aku harus berjuang menjinakkan perasaan yang semakin nano-nano. Tak
ada yang mampu mengobati. Berbagai obat sudah kuteguk, meski aku tidak sakit.
Gila memang. Tetap saja aku membutuhkan Randa di sisi.
Hingga hari selasa
dalam mendung yang menggantung. Aku disapa seorang perempuan cantik, namun
tetap elegan dalam balutan gamis syar’i. Ia tersenyum begitu anggun. Aku berani
bertaruh, siapapun melihatnya pasti jatuh cinta. Tanpa kecuali si Muza, kucing
loreng yang bikin deg-degan.
“Kakak cantik.”
Bah… semacam ada petir
yang menggelegar di tengah hari kelabu. Ini cewek mujinya maksa kali. Aku tidak
mengubris. Sebaliknya, aku segera bergerak meninggalkan,manakala labi-labi berhenti
tepat di depan haltle Prada. Perempuan yang
kutaksir seumuran denganku ikut melangkah masuk.
“Aisyah.” Lanjutnya.
Aku bergeming. Tak mengopen
sapaan keduanya, meskipun tak membalas, diam-diam aku menyimpan namanya.
Labi-labi melaju
meninggalkan bekasan uap putih di belakang. Jalanan prada sudah tak terlihat
lagi sejak 10 menit lalu. Sementara perempuan bernama Aisyah mulai sibuk dengan
alqur’an genggamnya. Sesekali dia menyeka air mata bila ayat-ayat yang
dibacakan menceritakan tentang neraka.
Aku menebak-nebak sih,
karna yang aku ingat, neraka bila dalam bahasa Arab adalah naar, dan aku sempat mendengar Aisyah membacakan potongan ayat yang
menyebut kata naar tersebut. Aku pun
terlelap, entah sejak kapan. Sa’at terjaga, labi-labi menghentikanku di depan
sebuah rumah besar warna putih gading dan biru laut. Aku menampar pipiku,
berharap segera terjaga dari mimpi siang bolong.
“Ahlan wa sahlan, ukhty
Nza. Kita sudah sampai.” Aisyah tersenyum kali kesekian sambil menenteng
plastik putih berisi buku bacaan. Aku menelan ludah. Sebelum sempat kurogoh
dompet, sopir berujar lebih dulu.
“Tadi dek Aisyah sudah
membayarnya.” Sopir tersebut juga ikutan tersenyum. Dan lagi, sopir mengenal
Aisyah. Aku benar-benar penasaran.
Demi membunuh rasa
penasaran yang berlipat-lipat, aku ikut turun, mengekor Aisyah dari belakang.
Kali ini, aku memilih diam, membiarkan otakku mencerna sendiri, kabur pun juga
tak tau kemana. Pasrah.
“Nza, tunggu sebentar
ya. Aisyah pamit ke belakang dulu.”
Benar-benar, aku
seperti tersesat di dimensi berbeda. Rumah sebesar istana itu berdiri kokoh
dengan pagar-pagar tinggi menjulang, sementara
keadaan di dalam begitu sepi. Aisyah muncul di balik gorden gold yang membatasi pintu ke arah dapur
sambil membawa segelas sirup kuning dingin.
Aku terkesiap.
Pemandangan selanjutnya lebih buruk lagi. Aisyah datang tidak seorang diri,
tapi berdua. Tidak salah lagi, meskipun berkali aku mengucek mata, wajah yang
sama tetap tidak berubah.
“Randa” ucapku lirih.
Sementara yang disapa
hanya tersenyum, memilih duduk tepat di samping Aisyah.
“Apa maksudnya ini,
Aisyah. Apa kamu sengaja menunjukiku kemesraan dengan si kucing loreng, biar
aku cemburu?”
Aisyah lagi-lagi
tersenyum, tapi wajahku mulai terasa panas selayak dipanggang di dalam oven.
“Silahkan diminum dulu.
Aku sengaja membuatnya untukmu, percayalah, tidak ada sianida di dalamnya.”
Ingin sekali aku
menjambak kerudung lebar, mencakar wajah mulus tanpa komedo karna telah
berpura-pura alim dengan mengatas namakan pakaian syar’ie sebagai kedok. Aku
masih berusaha sabar, mengontrol emosi, menata wajah agar tidak terbakar
terlalu jauh.
“Apakah laki-laki ini
yang membuatmu lupa, Nza?”
Plakkk… satu tamparan
pertama, begitu menusuk.
“Apa yang kau harapkan
dari laki-laki kurus yang kerjaannya, menyakiti perempuan baik seperti kamu,
Nza?”
Plakkk… ini tamparan
kedua kalinya.
“Tapi, bagaimana kalau
seandainya laki-laki ini sudah ada yang punya. Apa engkau akan tetap
mencintainya dengan sepenuh hati, atau cinta yang dulu terpupuk berubah
menjelma benci yang bersengatan dalam.”
Plak… ini tamparan
ketiga, dan aku sudah tidak sanggup menahan emosi.
“Aisyah, kalau memang
kamu mengajakku ke sini hanya untuk menyalakan kompor , untuk meledakkan marah
dan cemburuku, cukup. Kamu sudah berhasil. Kamu tahu, detik ini, aku sudah
mendapat sepaket kebencian ples hinaan sekaligus.
Tak perlu meminta
ma’af, aku memang gila. Dan tahukah, laki-laki yang di depan itu adalah pelakunya.
Terima kasih atas jamuan horor hari ini, sangat berterima kasih.
“Nza, tunggu. Selangkah
kau meninggalkan rumah ini, yakinlah akan menyesal seumur hidup.”
“Ais… sudah cukup. Ini
terlalu berat baginya.” Kali ini, aku mendengar suara ngebas dari sosok lain,
bukan Aisyah.
“Bagus, engkau juga
berhasil menghancurkan cinta yang selama ini kubangun diam-diam, hanya dalam
hitungan menit. Selamat, engkau akan lolos seleksi jadi satpol pp. ah… terserah
lah.”
“Nza, kemarilah sayang.
Bawa si loreng ini bersamamu, jaga dan rawatlah ia.”
“Aisyah… apa-apaan ini.
Candamu keterlaluan.”
Untuk satu rasa SIRAT. Apa yang akan engkau lakukan.
Membiarkan ia terbenam di sisi paling jauh dalam
diri,
atau memupuknya diam-diam dalam do’a.
keren2n
ReplyDeletelebih baik kita memupukkannya dalam doa
ReplyDelete