Blogroll

Saturday, 5 March 2016

Cinta Rasa Facebook


Zahraton Nawra
Untuk satu rasa yang tak berdevenisi, kuikhlaskan ia mengalir pada titah Ilahi.
Karna cinta sesungguhnya, tak kan lahir di balik dinding facebook.

            Aku tak melihat bintang di langit malam. Sepertinya kabut benar-benar merdeka, telah berhasil mengelabui hatiku. Mungkin aku tak punya hak membatasi perasaan terhadap orang lain. Tapi, ini sudah keterlaluan. Membiarkan ia bersarang di dalamnya, seperti menciptakan bom Molotov yang meletup-letup tanpa bisa terkendali.
“Randa, apa kabar dia?” Sejak hilang kontak sebulan yang lalu, aku hampir gila karna rindu. Mungkinkah dia sengaja menghindar karna sudah ada yang punya. Ah. Setidaknya kalau pun benar, aku tetap datang di acaranya walau sebagai tamu.
Randa… Randa… lupakah engkau bagaimana pertama kali engkau menarik hatiku bersamamu? Tidak. Aku yakin engkau tidak lupa. Bagaimana mungkin engkau lupa, sedangkan ikrar cintamu yang begitu manis masih terasa hingga ujung rongga, sampai kini. Aku benar-benar gila, Randa, kamu harus bertanggung jawab.
-----
            Narenza, itu namaku. Hanya tujuh huruf, tidak lebih. Di komunitas menulis, teman-teman memanggilku Naren, tak terkecuali ayah dan ibu. Namun aku kaget, karna ada orang lain yang memanggil dengan panggilan asing.
            “Nza” Ucapmu sambil berlalu di hadapan.
            Aku bingung harus tertawa atau menangis mendengar nama tersebut. Kedengarannya begitu aneh. Tapi, jujur, sejak itu, aku mulai merindukan panggilan sama darimu. Tanpa dikomando, aku mulai melakukan aksi cepat tanggap. Ini bukan yang sering dilakukan oleh tim medis di dunia kedokteran. Lebih tepatnya, aku menobatkan diri, menjadi pengagum rahasia di akun facebookmu. Klise sekali bukan. Mencari tahu semua tentangmu, mulai dari hoby, makanan, setatus  hingga jumlah yang ngelike photo profil.
            Awalnya aku begitu takut menambahkanmu sebagai teman di facebook. Takut ditolak pertemanan atau ekstrimnya malah engkau blokir. Setelah menimbang-nimbang rasa. Bermodalkan kagum yang menjelma suka, aku melakukannya.
            Untuk satu rasa yang kadarnya mendewa. Aku mengorbankan malu, menebalkan muka sebelum benar-benar menjelma kepiting rebus dalam balutan mie Aceh.  Klik pertemanan terkirim. Aku mematikan koneksi hotspot, sebelum akhir terlelap. Berharap engkau menerimanya esok buta.
Satu minggu berlalu, setelah kejadian di facebook…
            Pukul 3 dini hari aku bangun. Membiarkan mata menguap dengan sendirinya. Kucari hp, sebelum menemukanmu dalam deretan kontak facebook yang masih menyala. Aku membuka timeline kontakmu, mencari tahu kala-kalau aku salah lihat. Putus. Ya, engkau menghapus permintaan pertemanan. Entah apa rasanya, yang jelas aku ingin menangis.
            Baru kali ini hatiku seolah diiris karna patah. Di saat semua orang menginginkan bersama, tak pernah menolak ajak ku, lingkungan yang merindukan kehadiran. Dan kau, Muza. Tak lama, aku mendapati inbox darimu.
Assalamu’alaikum wr wb…
Nza, apa yang membuatmu menambahkan aku sebagai teman?
Apa engkau menemukan sisi lain dalam diri?
Dosa mana yang telah membutakan matamu?
Aku menolak. Aku menolak. Aku menolak.
Bukan aku benci. Tak pantas aku benci pada sosok yang tak salah.
Nza, ketahuilah…
Cinta sesungguhnya tak kan lahir di balik dinding facebook. Senyum
Sejak itu, aku tak cukup berani menyapa, meski hanya menyelip satu emo di setiap status yang engkau bagikan. Engkau pergi… benar-benar pergi… tapi tidak meninggalkanku sepenuhnya.
Hari berlalu begitu berat. Dan aku harus berjuang menjinakkan perasaan yang semakin nano-nano. Tak ada yang mampu mengobati. Berbagai obat sudah kuteguk, meski aku tidak sakit. Gila memang. Tetap saja aku membutuhkan Randa di sisi.
Hingga hari selasa dalam mendung yang menggantung. Aku disapa seorang perempuan cantik, namun tetap elegan dalam balutan gamis syar’i. Ia tersenyum begitu anggun. Aku berani bertaruh, siapapun melihatnya pasti jatuh cinta. Tanpa kecuali si Muza, kucing loreng yang bikin deg-degan.
“Kakak cantik.”
Bah… semacam ada petir yang menggelegar di tengah hari kelabu. Ini cewek mujinya maksa kali. Aku tidak mengubris. Sebaliknya, aku segera bergerak meninggalkan,manakala labi-labi berhenti tepat di depan haltle Prada. Perempuan yang  kutaksir seumuran denganku ikut melangkah masuk.
“Aisyah.” Lanjutnya.
Aku bergeming. Tak mengopen sapaan keduanya, meskipun tak membalas, diam-diam aku menyimpan namanya.
Labi-labi melaju meninggalkan bekasan uap putih di belakang. Jalanan prada sudah tak terlihat lagi sejak 10 menit lalu. Sementara perempuan bernama Aisyah mulai sibuk dengan alqur’an genggamnya. Sesekali dia menyeka air mata bila ayat-ayat yang dibacakan menceritakan tentang neraka.
Aku menebak-nebak sih, karna yang aku ingat, neraka bila dalam bahasa Arab adalah naar, dan aku sempat mendengar Aisyah membacakan potongan ayat yang menyebut kata naar tersebut. Aku pun terlelap, entah sejak kapan. Sa’at terjaga, labi-labi menghentikanku di depan sebuah rumah besar warna putih gading dan biru laut. Aku menampar pipiku, berharap segera terjaga dari mimpi siang bolong.
“Ahlan wa sahlan, ukhty Nza. Kita sudah sampai.” Aisyah tersenyum kali kesekian sambil menenteng plastik putih berisi buku bacaan. Aku menelan ludah. Sebelum sempat kurogoh dompet, sopir berujar lebih dulu.
“Tadi dek Aisyah sudah membayarnya.” Sopir tersebut juga ikutan tersenyum. Dan lagi, sopir mengenal Aisyah. Aku benar-benar penasaran.
Demi membunuh rasa penasaran yang berlipat-lipat, aku ikut turun, mengekor Aisyah dari belakang. Kali ini, aku memilih diam, membiarkan otakku mencerna sendiri, kabur pun juga tak tau kemana. Pasrah.
“Nza, tunggu sebentar ya. Aisyah pamit ke belakang dulu.”
Benar-benar, aku seperti tersesat di dimensi berbeda. Rumah sebesar istana itu berdiri kokoh dengan pagar-pagar tinggi menjulang, sementara  keadaan di dalam begitu sepi. Aisyah muncul di balik gorden gold yang membatasi pintu ke arah dapur sambil membawa segelas sirup kuning dingin.
Aku terkesiap. Pemandangan selanjutnya lebih buruk lagi. Aisyah datang tidak seorang diri, tapi berdua. Tidak salah lagi, meskipun berkali aku mengucek mata, wajah yang sama tetap tidak berubah.
“Randa” ucapku lirih.
Sementara yang disapa hanya tersenyum, memilih duduk tepat di samping Aisyah.
“Apa maksudnya ini, Aisyah. Apa kamu sengaja menunjukiku kemesraan dengan si kucing loreng, biar aku cemburu?”
Aisyah lagi-lagi tersenyum, tapi wajahku mulai terasa panas selayak dipanggang di dalam oven.
“Silahkan diminum dulu. Aku sengaja membuatnya untukmu, percayalah, tidak ada sianida di dalamnya.”
Ingin sekali aku menjambak kerudung lebar, mencakar wajah mulus tanpa komedo karna telah berpura-pura alim dengan mengatas namakan pakaian syar’ie sebagai kedok. Aku masih berusaha sabar, mengontrol emosi, menata wajah agar tidak terbakar terlalu jauh.
“Apakah laki-laki ini yang membuatmu lupa, Nza?”
Plakkk… satu tamparan pertama, begitu menusuk.
“Apa yang kau harapkan dari laki-laki kurus yang kerjaannya, menyakiti perempuan baik seperti kamu, Nza?”
Plakkk… ini tamparan kedua kalinya.
“Tapi, bagaimana kalau seandainya laki-laki ini sudah ada yang punya. Apa engkau akan tetap mencintainya dengan sepenuh hati, atau cinta yang dulu terpupuk berubah menjelma benci yang bersengatan dalam.”
Plak… ini tamparan ketiga, dan aku sudah tidak sanggup menahan emosi.
“Aisyah, kalau memang kamu mengajakku ke sini hanya untuk menyalakan kompor , untuk meledakkan marah dan cemburuku, cukup. Kamu sudah berhasil. Kamu tahu, detik ini, aku sudah mendapat sepaket kebencian ples hinaan sekaligus.
Tak perlu meminta ma’af, aku memang gila. Dan tahukah, laki-laki yang di depan itu adalah pelakunya. Terima kasih atas jamuan horor hari ini, sangat berterima kasih.
“Nza, tunggu. Selangkah kau meninggalkan rumah ini, yakinlah akan menyesal seumur hidup.”
“Ais… sudah cukup. Ini terlalu berat baginya.” Kali ini, aku mendengar suara ngebas dari sosok lain, bukan Aisyah.
“Bagus, engkau juga berhasil menghancurkan cinta yang selama ini kubangun diam-diam, hanya dalam hitungan menit. Selamat, engkau akan lolos seleksi jadi satpol pp. ah… terserah lah.”
“Nza, kemarilah sayang. Bawa si loreng ini bersamamu, jaga dan rawatlah ia.”
“Aisyah… apa-apaan ini. Candamu keterlaluan.”

Untuk satu rasa SIRAT. Apa yang akan engkau lakukan.
Membiarkan ia terbenam di sisi paling jauh dalam diri,
atau memupuknya diam-diam dalam do’a.



2 comments: