Blogroll

Wednesday, 28 January 2015

Benarkah jodoh bisa diambil orang?


Ada sebuah cerita dari sang murobi saat SMA bahwa sebelum menikah, sepasang suami istri yang kini sudah sah mengalami beberapa kali peristiwa tak mengenakkan. Mulai dari proses pernikahan yang gagal. Orang yang sudah kasih sinyal, tiba-tiba mundur perlahan. Dilangkahi atau ditinggal menikah dengan orang yang dulu pernah ta’arufan.
Kenyataan akhirnya mereka berdua bertemu dan menikah dalam tempo yang (bisa dibilang) sesingkat-singkatnya (cuma 1 bulan).
Ini menunjukkan kalau sudah waktunya, pernikahan itu 1 2 3. Nggak pakai lama. Nggak pakai galau-galauan. Nggak pake sikut-sikutan dengan orang lain. Lancar jali. Bebas macet.
Skenario Allah tidak sama dengan keinginan manusia. Catat itu! Betapa banyak orang yang memendam rasa, tapi harus tunduk di depan kekuasaan Allahu Ta’ala. Bukan, bukan perasaan kalian yang mengatur siapa menikah dengan siapa. Siapa batal dengan siapa.
Kita ini hamba-hamba yang lemahnya luar biasa. Petantang petenteng berlaga banyak disuka, tapi kalau Allah bilang tidak: mau bilang apa?
Jadi, jangan sampai ada gagasan di kepala: jodohku diambil orang. Tidak, jodohmu tidak bisa diambil orang, karena Allah-lah yang menentukan dan memastikan. Kalaulah ada orang yang kita harapkan jadi pasangan, malah berakhir menikah dengan orang lain, itu bukan jodoh diambil orang. Tapi itulah jalan yang harus kau lampaui menuju jodohmu yang telah ditetapkan.
Allah menyingkirkan orang-orang yang bukan jodoh kita.
Allah membatalkan hal-hal yang bisa menjuruskan kita pada pernikahan yang tak dikehendakiNya.
Allah mencegah. Allah mengenyahkan. Allah meniadakan.
Kejam?
Dari awal, siapa yang mengajarimu: jatuh cinta sama dengan “dia pasti jodohku”? Betapa banyak orang jatuh cinta, tak semua berakhir duduk di pelaminan. Inilah pelajaran-pelajaran cinta paling mendasar:
Selagi belum ijab qabul, dia bukan siapa-siapamu.
Dia bukan pasangan resmimu.
Dia bukan pendamping hidupmu.
Sampai para saksi katakan, “SAH!”
Nah, saat itulah, kau boleh tersenyum bahagia. Lihat baik-baik. Dialah jodohmu yang sebenarnya. Yang selama ini kaucari dan idam-idamkan kehadirannya..
Kini saatnya yang masih galau dengan masa depannya, yakinlah bahwa Allah telah mempersiapkan partner hidupmu sesuai kadar iman dan kapasitasmu…
Jadi, gunakan masamu untuk hal yang produktif dan bermanfaat buat sekitar dan buang rasa galaumu itu.
Kalau toh sudah siap dengan bekal yang kau miliki, segera datangi bapaknya untuk kau pinta anaknya atau mengajukan diri mencarikan calon suami kepada sang ayah bagi para akhawatnya.
Bang ASA dengan narasi luar biasa
#MariProduktif
 Muhammad Rifai 

Ikhlas


Ikhlas berkaitan dengan niat. Dia identik dengan kegiatan membersihkan dan memisahkan dari sesuatu yang kotor menjadi bersih. Seorang muslim dalam beramal dimulai dari niatnya. Niat itu pulalah yang akan menghantarkan ia pada pahala yang melimpah atau tidak sama sekali.
Dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya amal itu tergantung dengan niatnya dan sesungguhnya bagi seseorang itu apa yang diniatkannya. Barang siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa berhijrah karena harta yang ingin diraihnya atau karena perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu untuk sesuatu yang menjadi tujuan hijrahnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hakikat Ikhlas
Ikhlas berada dalam hati demikian pula dengan lawannya yaitu syirik, keduanya senantiasa berebut tempat di hati manusia. Oleh sebab itu tempat ikhlas ada di dalam hati dan hal itu berkaitan dengan tujuan dan niat seseorang.
Disebutkan bahwa hakikat niat itu mengacu kepada respon berbagai hal yang membangkitkannya. Bila faktor pembangkitnya hanya satu maka perbuatan itu disebut ikhlas dalam kaitannya dengan apa yang diniatkan. Istilah ikhlas itu khusus berkenaan dengan tujuan semata-mata mencari taqarrub kepada Allah dan pelakunya disebut mukhlis.
Cara Untuk Mengenali Ikhlas
Motivasi seseorang untuk beramal banyak sekali. Oleh karena itu kita perlu mengenali tujuan dari amal kita agar motivasinya tidak tercampur dengan yang lain, seperti riya’ atau kepentingan-kepentingan nafsu lainnya.
Salah satu contoh motivasi yang telah tercampur dengan motivasi yang lain misalnya orang yang berpuasa untuk memanfaatkan perlindungan yang dapat dicapai melalui puasa tersebut disamping niat taqarrub. Contohnya antara lain: orang yang pergi haji untuk memperoleh kesegaran suasana untuk bepergian.
Oleh karena itu, para penempuh jalan akhirat harus mencermati amal perbuatan mereka dan memperbaharui niat mereka. Tidak setiap tujuan dalam suatu amal dapat membatalkan amal. Karena itu, siapa yang berpuasa dengan tujuan bertaqarrub kepada Allah dan mencapai kesehatan maka tidak merusak keikhlasannya. Bahkan jika kesehatannya itu diniatkan untuk memperkuat diri dalam mengamalkan kebaikan maka pahalanya semakin bertambah. Jika ia memaksudkan untuk hak dirinya maka pahala keikhlasan kepada Allah lebih banyak.
Singkatnya, setiap kepentingan duniawi yang disenangi nafsu dan dicenderungi hati sedikit ataupun banyak, apabila merambah ke dalam amal maka dapat mengeruhkan kejernihannya. Manusia senantiasa terikat dalam kepentingan-kepentingan dirinya dan tenggelam dalam berbagai syahwatnya sehingga jarang sekali amal perbuatan atau ibadahnya dapat terlepas dari kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan sejenis itu.
Akan tetapi hal yang menjadi perhatian adalah apabila tujuan asalnya berupa taqarrub lalu terkontaminasi oleh hal-hal di atas, kemudian kotoran-kotoran ini berada pada tingkat mu’awanah (mendukung).
“Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka” (QS. Al Hijr : 40). 
Maka hendaklah seorang hamba sangat memperhatikan dan mengawasi hal-hal yang sangat mendetil ini. Jika tidak, maka akan tergolong kepada pengikut syaithan tanpa menyadarinya.
Manfaat Ikhlas
1. Hidup akan tenang karena hati selalu berjaga-jaga untuk mengevaluasi dan meluruskan niat dalam beramal
2. Selalu dimudahkan dalam segala urusannya
3. Memiliki orientasi hidup yang mampu menjangkau jangka panjang yaitu akhirat
4. Pemberat/penambah pahala dalam beramal
5. Mendapat posisi sebaik-baiknya Hamba di sisi Allah dan juga manusia.
Apabila keikhlasan telah bersemayam di dalam diri, maka setiap amal akan diberkahi oleh Allah SWT. Setiap orang akan berlomba-lomba untuk memberikan amalan terbaiknya karena ia menyadari buah dari ilmu dan keikhlasan adalah amal shaleh.
Wallahu’alam
Dewi FSLDK INDONESIA

Hijrah


Setiap orang pasti melakukan hijrah. Entah itu hijrah dari suatu hal buruk menjadi baik maupun sebaliknya, dan berharap hijrah yang dilakukan adalah hal yang lebih baik dari yang sebelumnya.
Hijrah dalam pemaknaanku kali ini adalah hijrah dari satu tempat menuju tempat lainnya, menetap dalam suatu tempat yang berbeda.
Hijrah, kedua orangtuaku selalu mengatakan begitu akhir-akhir ini. Berharap akan datang suatu hal yang lebih baik lagi, sebab banyak hal yang mengharuskan kami hijrah. Entah itu dari segi finansial, spiritial dan bahkan sosial.
Bangunan yang dibangun selama beberapa tahun oleh jerih payah kedua orangtuaku, penuh suka dan duka. Aku menyimpan banyak cerita kehidupanku disini. Haruskah kita hijrah? Bolehkah menetap disni lagi saja? Aku bertanya-tanya dalam lubuk hati.
Sungguh ini adalah tempat yang paling menenangkan, rumah.. Iya rumah.. rumah yang aku tinggali selama hampir setengah umur dari hidupku. Entah bagaimanapun berantakan seisi rumah ini, namun aku hanya merasakan kenyamanan disni. Sebuah rumah dan bangunan yang kedua orangtuaku rancang dan aku banggakan, sebuah lafadz Allah yang tertera indah di gerbang rumah dan sebuah dinding bertuliskan kaligrafi 99 Asmaul Husna membuat tentram ketika dipandang.
Sebuah bangunan dimana selama 3 tahun belakangan ini aku bersama anak-anak, berkumpul dan belajar disana. Sebuah bangunan dimana aku bersama keluarga menghabiskan waktu bersama.
Hijrah… aku percaya, Tuhan selalu menitipkan sebuah hikmah dalam setiap episode perjalanan. Dan aku berharap dimanapun nantinya hijrahku dan keluargaku, moga Ia berkahi…

Fikratus Sofa Muzakkiya

Cermin


Setiap hal yang terjadi pada kita, yang kita alami, yang kita lihat, yang kita dengar, dan yang kita rasakan, sesungguhnya tak satu pun yang terjadi secara kebetulan.
Tuhan selalu bicara pada kita. Tapi Tuhan tak perlu bicara melalui lisan, sebagaimana lisan yang kita pahami. Bagi Tuhan, semuanya mudah, dan Tuhan juga dapat dengan mudahnya menjadikan manusia lain, sebagai tempat kita belajar untuk menjadi sebaik-baiknya kita.
Hidup itu kadang seperti tidur. Kita begitu terlelap pada tidur kita, hingga tak sadar ketika tangan kita jatuh mendarat dengan sangat keras pada wajah orang disebelah kita. Ia meringis kesakitan, sementara kita tetap tak sadar dengan apa yang barusan kita lakukan. Hidup juga kadang seperti berlari mengejar bus saat kita hampir terlambat. Kita begitu fokus dengan langkah kita yang terburu-buru. Hingga tak cukup hati-hati, bila ada orang lain yang sedang berjalan tenang, lantas kita senggol hingga kopi panas yang sedang ia minum tumpah membasahi kemeja putih satu-satunya. Mungkin kita tak sadar dan tetap berlari, atau mungkin pula kita tahu, lalu meminta maaf dengan berteriak dan tetap lanjut berlari.
Tanpa sadar kita suka begitu.
Tanpa sadar kita suka hidup dengan hanya fokus pada apa yang tengah kita lakukan. Kita begitu asik mewujudkan apa yang kita mau. Kita begitu hanyut mengejar apa yang kita cita-citakan. Lantas orang lain, kadang kita anggap tak punya urusan yang lebih penting daripada kita, atau tak lebih sulit hidupnya dari hidup yang kita punya.
Ketika orang lain bersikap baik pada kita, berkata jujur, bersabar atas sikap kita, ramah memperlakukan kita, membantu saat kita memerlukan, mendengarkan cerita yang ingin kita bagi, maka saat itulah Tuhan sedang mengajarkan kita, untuk bersikap baik pada orang lain, sebagaimana sikap baik orang lain yang kita terima, yang itu menyenangkan kita.
Sementara, ketika ada orang lain, siapapun ia, yang bersikap buruk pada kita, suka berbohong, ketus, ringan berkata-kata pedas, mencandai kesulitan dan kesedihan kita, menertawakan kegagalan kita, merendahkan kita, maka pada saat itulah Tuhan sedang mengajarkan kita, untuk tidak meniru sikap buruk yang seperti itu. Sebab semuanya, ternyata, begitu tidak menyenangkan ketika kita rasakan.
Tuhan begitu baik.
Pun pada saat yang sama, pada tiap kebaikan dan keburukan orang lain yang kita alami, Tuhan seakan sedang bertanya pada kita, “Apakah kamu seperti itu juga?”
Apakah kamu juga orang yang jujur? Bersabar pada orang lain? Ramah dalam bersikap? Apakah kamu sudah bersikap baik seperti kebaikan yang kamu terima dari orang lain?
Begitu pula sebaliknya, apakah kamu ini orang yang suka berbohong? Apakah kamu ini orang yang ketus dalam berbicara? Orang yang begitu ringan berkata-kata pedas pada orang lain? Orang yang begitu santainya mencandai kesulitan dan kesedihan orang lain? Orang yang suka seenaknya menertawakan kegagalan orang lain? Apakah kamu seperti itu?
Manusia-manusia lain, orang-orang disekitar kita, adalah cermin buat kita.
Kita harus, dan selalu perlu untuk peka serta perasa, karena pelajaran hidup, tak cukup dapat dipahami hanya melalui mata yang menyaksikan, serta telinga yang mendengar, melainkan juga dengan hati yang mampu merasa.
Achmad Lutfi

Tuesday, 27 January 2015

quran bukan teman.


Pernah nggak sih sebegitu asing dengan Alquran?
Sehingga ketika ada masalah, cenderungnya kepingin cari quote-quote ucul, atau lirik-lirik lagu hipster.
Sebenarnya belum tentu salah juga konten si quote atau lirik itu. Tapi Alquran, ah, Meenn! Bukanlah ia sang sumber kebenaran dan keindahan paling jitu, agung, dan akbar?
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
(QS: Yunus Ayat: 57)
Tuh.
Kenapa nggak coba minimal satu ayat Alquran saja direnungi? 
Kenapa nggak Alquran dulu yang diintip?
Quote yang selaras dengan ruh Ilahi— sifatnya lebih ke menopang, eh? Bukan Alquran yang mengikuti lirik lagu.
Lalu, lalu, lalu? Lebih milih makan bakso pedes, dibanding berdoa mampus-mampusan saking ingin dikasih petunjuk dari Allah SWT, hey kamu? Aarrgh.
Masa sih bergantung pada materi, ketimbang bergantung pada Yang Maha Menciptakan Materi?
Itu sih Dik Tristi saja kali ya. :(


Wednesday, 21 January 2015

Masih Berusaha Menjadi Tuhan?



Pernah dengar ungkapan "Jika kamu sedang berusaha merubah orang lain, dan gagal, sampai pada akhirnya kamu stress karena tidak bisa merubah dia seperti apa yang kamu mau, itu artinya kamu sedang berusaha menjadi Tuhan”.
Sebelum kamu berusaha merubah hatinya untuk mencintaimu, sudahkah kamu mencintai dirimu sendiri?
Pada akhirnya semua kembali pada diri sendiri, ketika kamu mengharapkan sesuatu yang lebih baik, sudahkah kamu pantas mendapatkannya? Sudahkah kamu lebih baik?
Investasi pada dirimu yang akan kamu berikan pada orang lain, menjadi tolak ukur sebesar apa yang akan kamu dapat nantinya. Jika kamu terlalu terburu-buru, maka hanya sebatas itu yang kamu dapat, dan lagi-lagi berteriak “KAMU MENYEBALKAN!!”.

Jika kamu disuruh memilih antara rumah yang bobrok, dengan rumahminimalis yang didekor dengan indah. Mana yang kamu pilih? Sudah cukup pantaskah pilihanmu dengan isi tabunganmu?
Saat kamu mengharapkan pasangan yang baik, tidakah kamu berpikir jika bukan hanya kamu satu-satunya manusia yang berharap punya pasangan yang baik?
  • Mana yang lebih dulu kamu pilih, mendapat pasangan yang baik, atau menjadi baik untuk pasangan?
  • Mana yang lebih kamu utamakan, kewajiban, atau hak?
  • Mana yang lebih dulu kamu utamakan, kebahagiaanmu, atau kebahagiaan pasanganmu?
Kita sama-sama bisa berkaca dari sikap Tuhan, selalu memberi yang terbaik lebih dulu kepada kita, baru Dia meminta yang terbaik dari kita. Pernah kalian meminta senja? Tapi Tuhan berikan.
Sebelum kamu berharap diperhatikan orang lain, kamu saja yang lebih dulu perhatikan dirimu. Sebelum kamu berharap disayangi orang lain, kamu saja yang lebih dulu sayangi dirimu.
Bagaimana dia bisa yakin denganmu, jika kamu sendiri tidak yakin dengan dirimu?
Masih berusaha menjadi Tuhan?

Andika P 


Sunday, 18 January 2015

Once You Feel Disappointed



Jika kita mau, mungkin kita bisa menuliskan jutaan kekecewaan yang kita alami setiap hari terhadap orang lain, terhadap cuaca, bahkan terhadap dunia. Lalu mengunggahnya di berbagai akun media sosial, mengirimnya ke berbagai surat kabar, dalam bentuk keluhan-keluhan. Agar semua orang tahu bahwa kita kecewa.
Tapi, untuk apa? Apa itu membuat rasa kecewa tersebut hilang? Apa itu membuat kita merasa lebih baik? Mungkin ya, rasa kecewa kita hilang, dan ya, kita merasa lebih baik. Tapi, tahan berapa lama?
Yakin rasa kecewa itu tidak menumpuk dalam ‘celengan’ hati kita layaknya tabungan?
Hati yang dibiarkan penuh oleh kekecewaan adalah hati yang sakit. Dan tak seorang pun bisa bahagia jika hatinya sakit.
Mungkin kita pernah terluka, kita pernah dibuat kecewa, kita pernah mengalami pengalaman-pengalaman buruk yang membuat tidur kita tidak nyenyak, dan kita begitu membencinya. Lalu kita merasa seharusnya dunia memahami kondisi kita, bukan malah memperburuk keadaan.
But that’s life. Itulah hidup. Kita tidak bisa memesan semuanya semau kita. Kita tidak bisa menolak dipertemukan dengan orang-orang dan kejadian-kejadian yang membuat kita kecewa. Apa yang diberikan, harus diterima dan dijalani.
Kita tidak bisa mengubah dunia—sulit berharap dunia dan seisinya akan selalu menyenangkan dan memuaskan kita, ya?—but we can change the way we perceive it. Ya, kita bisa mengubah cara kita memaknai dunia.
Jika dunia ini terasa sempit, mengapa tidak kita buat agar hati kita lebih luas darinya? Sehingga apapun yang diberikannya akan bisa kita terima dengan lapang.
Jika masalah-masalah terasa sangat besar, mengapa tidak kita buat agar hati kita lebih besar darinya? Sehingga semua masalah itu akan tampak kecil dan mudah.
Jika orang-orang seringkali membuat kita kecewa, mengapa tidak kita buat agar hati kita mudah untuk memaafkan? Kan masih ada kesempatan yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya?
Once you feel disappointed, remember this :
Memelihara kecewa, benci, dan dendam itu seperti kamu meminum racun dan kamu berharap racun itu bisa membunuh musuhmu.
Pada akhirnya bukan musuhmu yang akan mati, melainkan diri kamu sendiri.
Biarkan mereka yang mengecewakan kita menyelesaikan urusannya dengan Tuhannya, dan kita, kita juga memiliki urusan lain yang lebih penting, kan?
Forgive others, learn, be happy, be grateful. And see, we have a beautiful world outside with so many dreams to catch :)
“Pain is inevitable. Suffering is optional.” 
― Haruki Murakami

Tuesday, 13 January 2015

Senyum Dalam Tangisan, Jangan Bersedih Lagi


Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dalam kehidupan, pasti akan ada yang berubah maupun yang bertambah. Entah tambahan itu apakah suatu hal yang menyenangkan ataukah hal yang menyedihkan. Banyak hal yang terjadi menjadi sebuah penyesalan bahkan awal dari alasan sebuah kesedihan yang tiada akhir.
Namun ketika kita tidak berusaha mencari alasan-alasan yang baik dari sebuah penderitaan yang kita alami, seakan-akan kesedihan yang kita alami menjadikan kita sebagai orang yang terburuk keadaannya. Sudahkah kita belajar untuk melihat ke bawah?
Ya benar.
Melihat ke bawah.
***
Ternyata ada saja yang masih harus kita syukuri dari banyaknya kesedihan yang kita alami. Terkadang sulit untuk kita mencari jawaban mengapa suatu musibah justru terjadi pada diri kita sendiri.
Kenapa bukan orang lain?
Kenapa bukan orang yang bergembira itu?
Kenapa bukan orang yang selalu bahagia itu?
Tapi tidakkah kita sadari bahwa kita hanya melihat dari sudut pandang mata kita. Bagaimana dengan Allah yang Maha Melihat dan Maha Bijaksana.
***
Tidak kita sadari semua, bahwa sudut pandang kita begitu sempit dan sangat sempit. Allah melihat dari segala sudut yang tidak akan pernah dapat dijangkau oleh manusia. Bukankah kitapun manusia, milik Dia Yang Maha Kuasa.
Berhakkah sebenarnya kita protes?
Padahal kita adalah milik-Nya.
***
Sebuah pertanyaan yang tentu kita tau jawabannya.
Berusahalah merenung dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Berusahalah untuk mencari jawaban positif dari pertanyaan-pertanyaan itu.
Suatu ketika, ada seorang melaporkan kepada Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Abu Darda’ radliallahu ‘anhu pernah mengatakan: “Fakir itu lebih aku cintai dari pada kaya dan sakit lebih aku sukai dari pada sehat.” Setelah mendengar laporan ini, Hasan mengatakan, “Semoga Allah mengampuni Abu Darda’, adapun yang benar, saya katakan:
من اتكل على حسن اختيار الله له لم يتمن غير الحالة التي اختار الله له
“Barangsiapa yang bersandar kepada pilihan terbaik yang Allah berikan untuknya, dia tidak akan berangan-angan selain keadaan yang pilihkan untuknya.” (Kanzul Ummal, Ali bin Hisamuddin al-Hindi)
Entahlah, seakan-akan manusia terus berusaha melawan kodratnya. Hingga ia tenggelam dengan permasalahanya sendiri yang tiada habisnya.
Lalu lupakah kita tentang hakikat sebenarnya kita diciptakan?
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون
” Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adzariyat :56)
Jadi ketika pena diangkat dan catatan takdir telah kering, haruskah kita protes?
Menjalani dengan penuh tawakal dan berusaha menunaikan kewajiban, mungkin adalah obatnya. Daripada berkubang dengan kesedihan yang kita masih belum tau apakah hikmahnya.
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
” Tidak! Barang siapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah:112)
***
Jika Engkau seorang yang bertauhid, untuk apa bersedih, untuk apa mengeluh, untuk sesuatu yang sebenarnya akan engkau jalani.
Percayalah, bukankah Allah tidak akan membebani seseorang diluar kesanggupannya?
Pertanyaan ini adalah hal yang harus engkau renungi. Agar engkau yakin, semua pasti bisa engkau lewati dengan baik. Karena percayalah selalu,
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)
” Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5 – 6)
***
Jadi, untuk apa engkau bersedih lagi.
Tersenyumlah untuk dunia yang akan engakau jalani.
Itulah satu cara untuk mengurangi kesedihanmu, yang insya Allah akan berlalu dan akan diselingi kebahagiaan kembali.
Percayalah Allah sayang pada hamba-hambaNya yang sabar.
Wallahu a’lam
***
* Untuk di jadikan amalan kita bersama ~
Nabi Muhammad -shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda ilmu yang bermanfaat ialah salah satu amal yang kekal bagi orang yang mengajarnya, meski hanya 1 ayat,dan meskipun kita sudah meninggal dunia…
Dari sahabat untuk sahabat

Via -Anisaa Nurul Khasanah