Blogroll

Saturday, 27 December 2014

BUNGKUS dan ISI


Hidup akan sangat melelahkan, sia-sia dan menjemukan bila pikiran hanya digunakan untuk mencari dan mengurus BUNGKUS-nya saja serta
mengabaikan dan mengacuhkan ISI-nya.
Apa itu “BUNGKUS”-nya dan apa itu “ISI”-nya?.
"Rumah yang indah" hanya bungkusnya..
“Keluarga bahagia” itu isinya…
"Pesta pernikahan" hanya bungkusnya..
“Sakinah, mawadah, warahmah” itu isinya…
"Ranjang mewah" hanya bungkusnya..
“Tidur nyenyak” itu isinya…
"Kekayaan" itu hanya bungkusnya..
“Hati yang bahagia” itu isinya…
"Makan enak" hanya bungkusnya..
“Gizi, energi, dan sehat” itu isinya…
"Kecantikan dan Ketampanan" hanya bungkusnya..
“Kepribadian dan hati” itu isinya…
"Bicara" itu hanya bungkusnya..
“Amal nyata” itu isinya…
"Buku" hanya bungkusnya..
“Pengetahuan” itu isinya…
"Jabatan" hanya bungkusnya..
“Pengabdian dan pelayanan” itu isinya..
"Kharisma" hanya bungkusnya..
“Ahlaqul karimah” itu isinya…
"Hidup di dunia" itu bungkusnya..
“Hidup sesudah mati” itu isinya…
Utamakanlah ISI-nya..
Namun rawatlah BUNGKUS-nya…
Jangan memandang rendah & hina setiap BUNGKUS yang kita terima, karena berkah tak selalu datang dari BUNGKUS kain sutera melainkan juga datang dari BUNGKUS koran bekas..
Janganlah setengah mati mengejar apa yang tak bisa kita bawa mati..
Ust. Dr. Amir Faishol


Wednesday, 17 December 2014

Akan Segera Tiba


Akan segera tiba hari-hari dimana seseorang dengan keimanannya dapat melembutkan hatiku. Seseorang yang dengan keteguhannya meruntuhkan tembok keegoisanku. Seorang lelaki yang ketulusnya tak dapat ku ingkari. Dimana dihari seterusnya, kekurangan dari masing-masing kami yang membuat selalu rindu. Kekurangannya indah dimataku, begitu pula yang ada padaku.
Seseorang yang aku butuhkan bukan hanya aku inginkan. Lelaki yang menbuatku jatuh cinta berkali-kali. Akulah tempatnya berkeluh kesah, berbagi air mata, tawa dan pelukan. Tidak ada yang lain.
Aku lah satu-satunya perempuan yang namanya ia sebut dalam ijab qobul sekali seumur hidupnya.
Dengannya aku merasa aman dimanapun. Sedingin apapun, aku selalu merasa hangat dalam dekapnya.
Dibalik punggungnya nanti aku beribadah dan berdoa, dan diwaktu yang sama aku menjadi bagian dalam doa-doanya. Tangannyalah yang aku kecup setelah mengamini doa kami. Dan hanya keningku yang ia kecup.
Akulah nanti yang menjadi alasannya pulang, alasannya untuk tidak sering lembur, dan aku yang selalu ia ingat sekencang apapun godaannya diluar sana.
Dari rahimku nanti, akan lahir anak-anak sholeh dan lucu kami. Aku yang menjaga ketika ia sibuk bekerja, sedang ia yang akan mengajarkan anak kami untuk sholat dan mengaji.
Via tanpapena

Ayah dan Sebuah Rindu

Ayah, jika aku rindu padamu
bagaimana cara mengungkapkannya?
Sementara selama ini kita selalu berdiam diri jarang bertegur sapa
Tidak pernah menanyakan kabar,
Ayah, jika aku jatuh cinta
Bagaimana caranya aku belajar tentang wanita kepadamu
Sementara selama ini kau selalu diam saja tidak pernah bercerita
Aku ingin bertanya bagaimana menyampaikan setangkai bunga, bertanya tentang bagaimana mengetuk pintu rumahnya.
Bertanya tentang apa kata pertama yang harus aku ucapkan ketika bertegur sapa.
Ayah, jika aku lupa hari ulang tahunmu
Tidak pernah ada pengingat apapun karena aku tidak pernah tahu,
Bila aku harus pergi, akan adakah pelukan hangat itu? Pelukan yang aku cari-cari lagi setelah pelukan terakhirku ketika aku masih bayi.
Saat aku tidak pernah mengerti bahwa sikap itu berubah seiring hari. Apa karena kita sama-sama laki-laki? Enggan menunjukkan perasaannya. Enggan mengakui kerinduannya.


Via MasGun

“Sebenarnya Di Mana Sepi Itu Berada?”

Ketika semua telinga tak lagi mau mendengarmu, kau masih punya Tuhan yang bahkan tahu apa yang disembunyikan hatimu. Ketika semua mata mulai enggan melihatmu, kau masih punya Tuhan yang takkan lalai mengamatimu. Ketika kau terkurung dalam gelap, kau masih punya Tuhan yang Maha Bercahaya.

Lalu, apa yang kita takutkan dari sepi bila benar Tuhan itu masih hidup dalam hati. Atau sebenarnya kita sedang lupa DIA hingga kita kira sepi benar nyata?

Tuesday, 16 December 2014

[Memaafkan] Belajar Belajar Dan Belajar



Memaafkan memang bukan hal yang mudah, terlebih bila yang melukai tak menyadari salahnya (seakan dia tiada berbuat apa-apa tentang luka hati yang kian menganga).
Susah, susah, susah, begitu yang selalu kau keluhkan bila sakit itu kembali mendera. Angan tentangnya, harapan-harapan akan dirinya yang masih betah berlindung di balik tipu senyuman, semakin hari, semakin menggerogoti kenyamanan hidupmu.
Andai setiap orang piawai memaafkan, andai setiap insan mau selalu melapangkan hati, andai semua orang benar-benar percaya, bahwa tiada yang lebih luka dari lupa tujuan hidup yang sebenarnya. Bila begitu, barangkali tiada lagi yang merana bertahun-tahun meratapi luka yang sama. 

Hati ini manusiawi, otak ini manusiawi, raga ini manusiawi, dan begitulah terus mencari pembenaran untuk setiap tindakan yang tak semestinya. Ah, andai kita selalu benar-benar memeluk-Nya bila luka itu kembali menghantam. Andai kita bergegas melepas sesal dan kembali percaya hanya kepada-Nya, niscaya tiada lagi yang menghabiskan waktu terlalu lama untuk hal-hal yang tidak perlu.
Tentunya, luka hati susah sembuhnya, karena kemampuan memaafkan kita masih teramat rendah.
Susah, itu susah, aku sudah berkali mencobanya.
Coba lagi, pelan-pelan, kembalilah pada yang sebenar-benarnya benar. Tidak ada yang lebih sederhana dari pada terus menyandarkan hati pada-Nya, tapi kita justru lebih sering mencari ke mana-mana. Padahal DIA tiada sedikit pun lalai menunggu kembalinya kita.
Aku tak bisa, sulit, sangat sulit, oh, bukankah ini manusiawi? Begitu kembali desahnya menggema pada pekat gulita. Ia kembali tersungkur, terkubur semakin dalam pada sulitnya memaafkan.
Tidak ada yang lain selain terus mengupayakan. Belajar, belajar dan terus belajar, begitulah kiranya hingga hati kita piawai mendermakan maaf.
belajarlah untuk tidak mengulangi kesalahan itu kembali.
tuhan masih bersamamu.

Susah, susah, susah, begitu kembali gerutunya pada nestapa, dan sampai ajal tiba, luka itu akan tetap menganga. Selamat menikmatinya. :)

Monday, 8 December 2014

Tepat Tak Berarti Sempurna.


Aku sempat berfikir panjang saat pikiran ku mencoba memahami isi sebuah cerita tentang seorang perempuan yang menginginkan belahan jiwanya seseorang yang bisa menghargainya, menerimanya, dan serba sempurna. Sahabatnya kemudian mengingatkan, mana mungkin ada seseorang yang sesempurna itu?
Mengerti akan kesempurnaan itu hanya milik Allah, diamku terus berfikir, mencoba merangkaikan pemahaman. Sempurnanya Allah, kita harus selalu ingat sewaktu kita melakukan dosa, DIA tetap menerima kita jika kita bertaubat. Ketika kita melakukan kebaikan sekecil apapun, DIA jugalah yang akan menghargainya dan diberikanNYA kepada kita pahala yang setimpal. Dan Maha Sempurnanya Allah bisa terlihat dari segala macam hal, andai saja kita mau ‘melihat’, dan ‘memahami’ setiap darinya.
Lalu, aku pun menyimpulkan bahwa kita tak perlu mencari seseorang yang sempurna. Tapi, carilah orang yang tepat. Tepat berarti orang yang akan melengkapkan kita, dan kita juga akan melengkapkan dirinya. Intinya di sini adalah saling melengkapi. Setiap daripada kita memiliki kekurangan. Namun, selama kita mau terus memperbaiki diri kita masing-masing, itu sudah cukup memadai kan?
Tak terlupakan analogi penting ini; seperti bata-bata yang tidak semua bagus bentuk dan rupanya, namun jika disusun akan menjadi sebuah rumah yang cantik. Itu contoh saling melengkapkan antara satu sama lain.
Seperti kopi tanpa gula, pasti tak lengkap ya?
Menjadi yang tepat. Dan saling melengkapkan. Bisakah kita?
Written by : Sabrina Gazali 

Rizki dan Ikhtiar


Mungkin kamu tak tahu di mana rizqimu.
Tapi rizqimu tahu di mana kamu berada. Dari langit, laut, gunung atau lembah?; Rabb-mu Yang akan memerintahkan rizqimu untuk menghampirimu dan tak akan pernah keliru…
Allah berjanji utk menjamin rizqimu. Maka melalaikan ketaatan dengan bermaksiat padaNya, karena khawatirkan apa yang sudah dijaminNya adalah kekeliruan berganda.
Maka jangan mengkhawatiri rizqi yang sudah pasti; tapi siapkan jawaban “Dari Mana & Untuk Apa?” atas tiap karunia.

Betapa banyak orang bercita menggenggam dunia; dia alpa bahwa hakikat rizqi bukanlah yang tertulis dalam angka; tapi apa yang dinikmatinya.

Betapa banyak orang bekerja membanting tulangnya, memeras keringatnya; demi angka simpanan gaji yang mungkin esok pagi ditinggalkannya mati.

Maka amat keliru jika bekerja dimaknai mentawakkalkan rizqi pada perbuatan kita. Bekerja itu bagian dari ibadah. Sedang rizqi itu urusanNya.

Kita bekerja tuk bersyukur, menegakkan taat dan berbagi manfaat. Tapi rizqi tak selalu terletak di pekerjaan kita; Allah taruh sekehendakNya.

Bukankah Hajar berlari 7x bolak-balik dari Shafa ke Marwah; tapi Zam-zam justru terbit di kaki bayinya? Ikhtiar itu laku perbuatan. Rizqi itu kejutan.

Ia kejutan tuk disyukuri hamba bertaqwa; datang dari arah tak terduga. Tugasnya cuma menempuh jalan halal; Allah lah yang melimpahkan bekal.
Sekali lagi; yang terpenting di tiap kali kita meminta dan Allah memberi karunia; jaga sikap saat menjemputnya dan jawab soalanNya, “Buat apa?”

Betapa banyak yang merasa memiliki manisnya dunia; lupa bahwa semua hanya “hak pakai” yang halalnya akan dihisab dan haramnya akan di’adzab.

Banyak yang mencampakkan keikhlasan ‘amal demi tambahan harta, plus dibumbui kata tuk bantu sesama ; lupa bahwa ‘ibadah’ apapun semata atas pertolonganNya.

Dengan itu kita mohon agar setiap tetes keringat dan jengkal langkah kita tercatat ikhlas kepadaNya sebagai tanda bakti dan ibadah hanya untuk Allah semata…
Ust. Agung Cahyadi

Igauan Sang Ayah


Terkisah, suatu hari di malam lebaran, sang ayah dibawa ke rumah sakit karena menderita sesak nafas. Malam itu, sang anak yang kerja di luar kota dan baru saja sampai bersikeras menjaga sang ayah di kamar sendirian. Beliau duduk di bangku sebelah ranjang. Tengah malam, beliau dikejutkan dengan pertanyaan sang ayah,
"Apa kabar, pak Rahman? Mengapa beliau tidak mengunjungi saya yang sedang sakit?" tanya sang ayah dalam igauannya.
Sang anak menjawab, “Pak Rahman sakit juga, Ayah. Beliau tidak mampu bangun dari tidurnya.” Dia mengenal Pak Rahman sebagai salah seorang jamaah tetap di masjid.
"Oh…lalu, kamu siapa? Anak Pak Rahman, ya?" tanya ayahnya kembali.
"Bukan, Ayah. Ini saya, Zaid, anak ayah ke tiga."
"Ah, mana mungkin engkau Zaid? Zaid itu sibuk! Saya bayar pun, dia tidak mungkin mau menunggu saya di sini. Dalam pikirannya, kehadirannya cukup digantikan dengan uang," ucap sang ayah masih dalam keadaan setengah sadar.
Sang anak tidak dapat berkata apa-apa lagi. Air mata menetes dan emosinya terguncang. Zaid sejatinya adalah seorang anak yang begitu peduli dengan orangtua. Sayangnya, beliau kerja di luar kota. Jadi, bila dalam keadaan sakit yang tidak begitu berat, biasanya dia menunda kepulangan dan memilih membantu dengan mengirimkan dana saja kepada ibunya. Paling yang bisa dilakukan adalah menelepon ibu dan ayah serta menanyakan kabarnya. Tidak pernah disangka, keputusannya itu menimbulkan bekas dalam hati sang ayah.
Kali yang lain, sang ayah di tengah malam batuk-batuk hebat. Sang anak berusaha membantu sang ayah dengan mengoleskan minyak angin di dadanya sembari memijit lembut. Namun, dengan segera, tangan sang anak ditepis.
"Ini bukan tangan istriku. Mana istriku?" tanya sang ayah.
"Ini kami, Yah. Anakmu." jawab anak-anak.
"Tangan kalian kasar dan keras. Pindahkan tangan kalian! Mana ibu kalian? Biarkan ibu berada di sampingku. Kalian selesaikan saja kesibukan kalian seperti yang lalu-lalu."
Dua bulan yang lalu, sebelum ayah jatuh sakit, tidak pernah sekalipun ayah mengeluh dan berkata seperti itu. Bila sang anak ditanyakan kapan pulang dan sang anak berkata sibuk dengan pekerjaannya, sang ayah hanya menjawab dengan jawaban yang sama.
"Pulanglah kapan engkau tidak sibuk."
Lalu, beliau melakukan aktivitas seperti biasa lagi. Bekerja, shalat berjamaah, pergi ke pasar, bersepeda. Sendiri. Benar-benar sendiri. Mungkin beliau kesepian, puluhan tahun lamanya. Namun, beliau tidak mau mengakuinya di depan anak-anaknya.
Mungkin beliau butuh hiburan dan canda tawa yang akrab selayak dulu, namun sang anak mulai tumbuh dewasa dan sibuk dengan keluarganya.
Mungkin beliau ingin menggenggam tangan seorang bocah kecil yang dipangkunya dulu, 50-60 tahun lalu sembari dibawa kepasar untuk sekadar dibelikan kerupuk dan kembali pulang dengan senyum lebar karena hadiah kerupuk tersebut. Namun, bocah itu sekarang telah menjelma menjadi seorang pengusaha, guru, karyawan perusahaan; yang seolah tidak pernah merasa senang bila diajak oleh beliau ke pasar selayak dulu. Bocah-bocah yang sering berkata, “Saya sibuk…saya sibuk. Anak saya begini, istri saya begini, pekerjaan saya begini.” Lalu berharap sang ayah berkata, “Baiklah, ayah mengerti.”
Kemarin siang, saya sempat meneteskan air mata ketika mendengar penuturan dari sang anak. Karena mungkin saya seperti sang anak tersebut; merasa sudah memberi perhatian lebih, sudah menjadi anak yang berbakti, membanggakan orangtua, namun siapa yang menyangka semua rasa itu ternyata tidak sesuai dengan prasangka orangtua kita yang paling jujur.
Maka sudah seharusnya, kita, ya kita ini, yang sudah menikah, berkeluarga, memiliki anak, mampu melihat ayah dan ibu kita bukan sebagai sosok yang hanya butuh dibantu dengan sejumlah uang. Karena bila itu yang kita pikirkan, apa beda ayah dan ibu kita dengan karyawan perusahaan?
Bukan juga sebagai sosok yang hanya butuh diberikan baju baru dan dikunjungi setahun dua kali, karena bila itu yang kita pikirkan, apa bedanya ayah dan ibu kita dengan panitia shalat Idul Fitri dan Idul ‘Adha yang kita temui setahun dua kali?
Wahai yang arif, yang budiman, yang penyayang dan begitu lembut hatinya dengan cinta kepada anak-anak dan keluarga, lihat dan pandangilah ibu dan ayahmu di hari tua. Pandangi mereka dengan pandangan kanak-kanak kita. Buang jabatan dan gelar serta pekerjaan kita. Orangtua tidak mencintai kita karena itu semua. Tatapilah mereka kembali dengan tatapan seorang anak yang dulu selalu bertanya dipagi hari, “Ke mana ayah, Bu? Ke mana ibu, Ayah?”
Lalu menangis kencang setiap kali ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.
Wahai yang menangis kencang ketika kecil karena takut ditinggalkan ayah dan ibu, apakah engkau tidak melihat dan peduli dengan tangisan kencang di hati ayah dan ibu kita karena diri telah meninggalkan beliau bertahun-tahun dan hanya berkunjung setahun dua kali?
Sadarlah wahai jiwa-jiwa yang terlupa akan kasih sayang orangtua kita. Karena boleh jadi, ayah dan ibu kita, benar-benar telah menahan kerinduan puluhan tahun kepada sosok jiwa kanak-kanak kita; yang selalu berharap berjumpa dengan beliau tanpa jeda, tanpa alasan sibuk kerja, tanpa alasan tiada waktu karena mengejar prestasi.
Bersiaplah dari sekarang, agar kelak, ketika sang ayah dan ibu berkata jujur tentang kita dalam igauannya, beliau mengakui, kita memang layak menjadi jiwa yang diharapkan kedatangannya kapan pun juga.
(Dikutip dari sebuah tulisan Rahman Idris)

Sepenggal Kisah dari Al-Azhar Cairo


Seorang Syekh yang alim lagi berjalan-jalan santai bersama salah seorang di antara murid-muridnya di sebuah taman.Di tengah-tengah asyik berjalan sambil bercerita, keduanya melihat sepasang sepatu yang sudah usang lagi lusuh. Mereka berdua yakin kalau itu adalah sepatu milik pekerja kebun yang bertugas di sana, yang sebentar lagi akan segera menyelesaikan pekerjaannya.
Sang murid melihat kepada syekhnya sambil berujar:
“Bagaimana kalau kita candai tukang kebun ini dengan menyembunyikan sepatunya, kemudian kita bersembunyi di belakang pohon-pohon? Nanti ketika dia datang untuk memakai sepatunya kembali, ia akan kehilangannya. Kita lihat bagaimana dia kaget dan cemas!”
Syekh yang alim dan bijak itu menjawab:
“Ananda, tidak pantas kita menghibur diri dengan mengorbankan orang miskin. Kamu kan seorang yang kaya, dan kamu bisa saja menambah kebahagiaan untuk dirinya. Sekarang kamu coba memasukkan beberapa lembar uang kertas ke dalam sepatunya, kemudian kamu saksikan bagaimana respon dari tukang kebun miskin itu”.
Sang murid sangat takjub dengan usulan gurunya. Dia langsung saja berjalan dan memasukkan beberapa lembar uang ke dalam sepatu tukang kebun itu. Setelah itu ia bersembunyi di balik semak-semak bersama gurunya sambil mengintip apa yang akan terjadi dengan tukang kebun.
Tidak beberapa lama datanglah pekerja miskin itu sambil
mengibas-ngibaskan kotoran dari pakaiannya. Dia menuju tempat sepatunya ia tinggalkan sebelum bekerja. Ketika ia mulai memasukkan kakinya ke dalam sepatu, ia menjadi terperanjat, karena ada sesuatu di dalamnya. Saat ia keluarkan ternyata…uang.
Dia memeriksa sepatu yang satunya lagi, ternyata juga berisi uang. Dia memandangi uang itu berulang-ulang, seolah-olah ia tidak percaya dengan penglihatannya.
Setelah ia memutar pandangannya ke segala penjuru ia tidak melihat seorangpun. Selanjutnya ia memasukkan uang itu ke dalam sakunyalalu ia berlutut sambil melihat ke langit dan menangis. Dia berteriak dengan suara tinggi, seolah-olah ia bicara kepada Allah ar rozzaq : 
“Aku bersyukur kepada-Mu wahai Robbku. Wahai Yang Maha Tahu bahwa istriku lagi sakit dan anak-anakku lagi kelaparan. Mereka belum mendapatkan makanan hari ini. Engkau telah menyelamatkanku, anak-anak dan istriku dari celaka”.
Dia terus menangis dalam waktu cukup lama sambil memandangi langit sebagai ungkapan rasa syukurnya atas karunia dari Allah Yang Maha Pemurah.
Sang murid sangat terharu dengan pemandangan yang ia lihat di balik persembunyiannya. Air matanya meleleh tanpa dapat ia bendung.
Ketika itu Syekh yang bijak tersebut memasukkan pelajaran
kepada muridnya : 
“Bukankah sekarang kamu merasakan kebahagiaan yang lebih dari pada kamu melakukan usulan pertama dengan menyembunyikan sepatu tukang kebun miskin itu?”
Sang murid menjawab:
“Aku sudah mendapatkan pelajaran yang tidak akan mungkin aku lupakan seumur hidupku. Sekarang aku baru paham makna kalimat yang dulu belum aku pahami sepanjang hidupku:
“Ketika kamu memberi kamu akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih banyak dari pada kamu mengambil”.
Sang guru melanjutkan pelajarannya.
Dan sekarang ketahuilah bahwa pemberian itu bermacam-macam : 
-Memaafkan kesalahan orang di saat mampu melakukan balas dendam adalah suatu pemberian.
-Mendo’akan temanmu di belakangnya (tanpa sepengatahuannya) itu adalah suatu pemberian.
-Berusaha berbaik sangka dan menghilangkan prasangka buruk darinya juga suatu pemberian.
-Menahan diri dari membicarakan aib saudaramu di belakangnya adalah pemberian lagi.
Ini semua adalah pemberian, supaya kesempatan memberi tidak dimonopoli oleh orang-orang kaya saja.
Jadikanlah semua ini pelajaran.
Muhammad Syakur - ADK 49