Dalam sujud-sujud malam itu kamu mengadu, seketika luruh semua jeruji yang selama ini menjebak dirimu tetap termangu di sana. Dunia tak pernah jadi penjara bagi jiwa-jiwa yang merdeka. Sayangnya, hatimu terlanjur lelah mendaki, maka biarkan saja ia jatuh. Ia akan sampai pada pengharapannya yang terdalam, bahwa tak ada yang lebih menenangkan dalam hidup selain ketakberdayaan yang diridhai-Nya: ketakberdayaan yang berjumpa mesra dengan kemahakuasaan-Nya pada sepertiga malam yang syahdu.
Blogroll
Saturday, 30 January 2016
Jalan-Mu
Berjalanku tidak mudah. Terasa berat, dan aku semakin lelah. Aku berdiam di tepi dermaga. Diam, tertunduk, dan hina.
Kukira aku tidak akan pernah pantas memasuki surga-Mu. Namun, aku tidak akan pernah bisa menahan siksa api neraka. Aku tidak tahu harus memohon seperti apa lagi. Bahkan, aku terlampau malu untuk memohon lagi kepada-Mu.
Dosa-dosaku selalu berceceran setiap aku berjalan di muka bumi. Andai Engkau membuat dosa-dosa itu nampak, entah kaki ini tidak akan tegar lagi berjalan di atas bumi-Mu.
Waktu-Mu selalu datang menemuiku. Ia tidak menyapa, ia tidak menghina, ia juga tidak mengusirku. Ia hanya menungguku, seolah berharap agar waktuku segera habis. Entah kapan Engkau akan mengirimkan penjemput nyawa untukku. Setiap bertambahnya hari umurku turut berkurang, sedang dosa-dosaku hanya semakin menumpuk membebani batinku.
Entah kemana lagi aku akan melimpahkan dosa-dosa ini. Dosa-dosa ini hanya memperkeruh surga jika aku memasukinya. Dan aku juga tidak yakin mampu mempertanggungjawabkan dosa-dosaku di neraka.
Aku bersimpuh di haribaan-Mu. Aku berserah seluruhnya diriku kepada-Mu. Aku memohon dengan tangis penuh dosa. Aku meminta ampunan, meski aku malu dengan dosa-dosaku, karena aku tahu hanya Engkaulah Sang Pemilik Ampunan, hanya Engkaulah yang mampu mengangkat dosa-dosa ini.
Aku tidak mampu lagi berjalan dengan seluruh dosa ini. Aku tidak mampu lagi mendengarkan rintihan hatiku lebih banyak, yang seakan hidupku tinggal beberapa hari lagi.
Ya Allah, jika Engkau mencampakkan diri ini, kepada siapa aku harus berharap selain dari-Mu?
Jogja, 27 Januari 2016 | Seto Wibowo
Wednesday, 20 January 2016
Mengetuk pintu
Ada sebuah perumahan yang terdiri dari berbagai macam rumah, berbagai macam penghuni, dan berbagai macam pintu. Setiap rumah yang ada di perumahan ini hanya ditempati satu penghuni saja. Kemudian orang-orang yang berkunjung ke rumah ini adalah nantinya yang akan menemani si penghuni untuk bertempat tinggal.
Kebanyakan rumah di perumahan ini mempunyai hiasan untuk menarik perhatian pengunjung. Tidak lupa pintu-pintu rumah juga dihiasi sedemikian rupa berharap banyak orang yang tertarik untuk mengunjungi rumah tersebut. Terkesan antar rumah berlomba-lomba dalam hal ketertarikan.
Ada pula rumah yang minim hiasan, bahkan hampir terlihat sepi, namun tetap rapi dan bersih sehingga indah dipandang. Hampir tidak ada orang yang berkunjung ke rumah itu. Hanya orang-orang yang berpendirian teguh yang berani mengetuk pintu rumah tersebut. Mereka mempunyai tujuan, yaitu menemani orang yang dibalik pintu itu selamanya.
Kemudian penghuni rumah pun bermacam-macam, misalnya penghuni dengan rumah yang banyak hiasan untuk menarik perhatian tadi. Penghuni ini banyak memilih orang-orang yang berkunjung ke rumahnya untuk menemaninya tinggal. Berharap seseorang, namun ternyata orang tersebut mengunjungi rumah yang lain. Berharap orang yang akan bertempat tinggal di rumahnya akan tinggal selamanya, namun ternyata cuman sebentar saja. Terkadang orang yang berkunjung tersebut sudah merasa bosan, maka dia pergi dan berkunjung ke rumah yang lain. Tiap kali tamu meninggalkan rumah, pasti ada saja perabot yang pecah. Tiap kali pintu diketuk, dia berharap itu suara ketukan yang terakhir, dengan tamu yang dia harapkan, untuk menemaninya tinggal di rumahnya seumur hidup.
Ada pula penghuni yang rapat-rapat menutup pintunya. Tidak membiarkan sembarang orang untuk masuk. Hanya orang-orang yang gigih saja yang dia terima. Dia berharap orang yang mengetuk pintunya adalah orang yang bertujuan kuat untuk menemaninya tinggal. Kadang kala dia tidak tahu siapa yang mengetuk pintunya, tapi dia yakin orang tersebut adalah orang yang terpilih untuknya. Dia khawatir juga perabot rumahnya ada yang pecah. Sehingga dengan keadaan yang sedemikian ini, rumahnya masi bagus dengan perabot yang utuh.
Rumah-rumah yang ada di perumahan ini ibarat diri kita. Kita berharap suatu saat nanti ada seseorang yang menemani kita selamanya, menjadi pendamping hidup menuju surga-Nya. Memang, ada orang yang kita harap, ada juga yang tidak kita sangka. Namun, semuanya adalah bagian dari skenario-Nya.
Maka, hati-hati jika mengetuk pintu. Karena kamu tidak tahu harapan apa yang tersimpan di balik pintu itu. Akankah pula perabotan rumah di dalamnya pecah karenamu. Sehingga pantaskan saja diri terlebih dahulu. Hingga waktunya tiba, kamu ketuk pintu yang kamu tuju.
via Inspirasi Islami
Thursday, 7 January 2016
Dari Mana Datangnya Cinta?
Entah mengapa, tiba – tiba ada perasaan lain pada si dia. Kalau sebelumnya biasa – biasa saja, kini hati jadi dag-dig-dug tak karuan. Saat disebut namanya, saat melihatnya, atau saat mengingatnya. Berdebar. Brrr… bahkan jantung terasa mau copot kalau tiba – tiba berpapasan di tengah jalan. Waduh!
Apakah ini cinta?Naksir padanya?Atau bagaimana?Ah, bingung jadinya.Jangan – jangan bisa dosa karena itu?
Tenang. Enggak usah bimbang. Enggak perlu tegang. Ini bukan aib dan dosa. Bukan pula perbuatan tercela. Rasa seperti itu memang ada kalanya hadir di setiap hati sanubari seorang anak manusia, mulai adanya rasa ketertarikan terhadap lawan jenis yang entah datang tiba – tiba, tanpa permisi, tanpa mengucapkan salam.
Hadirnya rasa seperti itu mesti kita syukuri. Diekspresikan sesuai dengan porsinya. Sesuai syari’at Allah dan Rasul-Nya. Agar cinta itu tumbuh sehat, kuat, mekar, berbunga, dan berbuah bahagia.
Namun, hadirnya rasa itu pun perlu kita manajemen juga. Bagaimana cara memanajemennya? yaitu, dengan menjaga pandangan kita.
Jagalah mata jaga dirimuSebagai tanda penjagaan jiwa – kata seorang penyair
Maka disinilah pentingnya manajemen yang rapi dan tertata, agar mata terjaga dari dosa yang menjeratnya. Sesungguhnya menjaga pandangan adalah sarana untuk menjaga hati, menjaga jiwa agar terpelihara kesuciannya.
sebagaimana firman Allah Ta’ala,
Katakanlah kepada laki – laki yang beriman, “hendaklah mereka menahan sebagian pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An – Nur [24] : 30)
Ini dia jalan yang diberikan Allah sebagai bentuk godaan setan. Karena, kata Ibnu Abas, setan menempati tiga lokasi dalam diri seorang lelaki : pandangan, hati dan ingatan. Adapun kedudukan setan dalam diri wanita ada pada lirikan mata, hati dan kelemahannya.
Menundukkan pandangan bukan berarti tidak boleh melihat sama sekali. Bukan, tapi ada yang boleh dilihat dan ada yang tidak boleh dillihat. Yang tidak boleh dilihat adalah pandangan berlebihan, yakni pandangan yang tidak sesuai dengan keperluan dan menimbulkan syahwat. Sementara melihat yang boleh adalah melihat yang sesuai dengan keperluan. Keperluan yang bagaimana? Tentu saja keperluan yang sesuai hajat syar’i.
Lalu bagaimana selanjutnya? Ya. Adakalanya kita, bersedia untuk rela membuang perasaan itu jauh – jauh, walaupun engkau memilih cinta dalam diam, lepaskan belenggu perasaan yang justru akan menyiksamu. Cukup do’akan dia, jika memang berjodoh maka Allah akan menyatukan, kalaupun tidak pasti Allah sudah menyiapkan dengan yang lebih baik.
“Dear Allah,Sometimes,it’s hard for me to understand, what YOU really want to happen.But i trust YOU.I know YOU will give me what’s best.”
Ketika cinta bermula dari makna sebuah rasa dan rupa, kita lihat saja waktu kan bisa menghapus itu semua namun kala cinta bermula dari keikhlasan dan ridha Rabb – Nya, kita lihat saja inilah makna cinta yg sesungguhnya.
Saat sedang jatuh cinta ♡kuatkanlah cintamu padaNya اللهlebihkan imanmu padaNya اللهsederhanakan rasanyakirim do’apantaskan dirilalu bersabar
Keep Ishbir wa Istiqomah ya shalihah. 

Oleh : Dian Pratiwi
Image By : Akhwati Design
Sumber Referensi :
- Jauhar al-Zanki. 2012. Agar Hati Tak Salah Mencintai. Yogyakarta : PRO-U Media (Catatan : Dengan sedikit perubahan)
Monday, 4 January 2016
Cinta, beban & kebutuhan

“Ridha dengan ketetapan Allah yang tidak menyenangkan adalah tingkat keyakinan yang paling tinggi.”
—Ali bin Abi Thalib
Kalau Allah menetapkan manusia untuk hidup berkecukupan, kalau Allah memberikan berbagai kemudahan dalam setiap usaha yang kita lakukan, kalau Allah jauhkan kita dari berbagai penyakit yang menyengsarakan kita, siapa yang tidak rela? Siapa yang akan protes?
Kalau setiap apa yang kita inginkan terpenuhi, kalau dengan duduk manis nonton TV semua persoalan hidup tuntas, kalau dengan diajak jalan-jalan ke mall setiap hari anak-anak tumbuh menjadi manusia-manusia yang berguna dan berbakti pada orangtua, kalau dengan mendengarkan musik setiap pagi kita mendadak khusyuk dalam shalat, betapa indahnya dunia. Betapa indahnya hidup.
Sayangnya sejarah mencatat hidup tak berjalan dengan cara semacam itu. Allah berfirman, “Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan mengatakan ‘kami telah beriman’, sedang mereka belum diuji?”
Apabila untuk bahagia dunia-akhirat kita perlu beriman, dan untuk jadi beriman kita perlu diuji, maka hidup sejatinya hanyalah ujian.
Pada titik ini kita mestinya menyadari bahwa ujian bukan cuma tentang penderitaan, bukan cuma soal kemiskinan. Ujian adalah kemiskinan, juga hidup yang berkecukupan. Ujian adalah ketidakmengertian, juga ilmu pengetahuan. Ujian adalah kesendirian, juga kebersamaan. Ujian adalah kesakitan, juga kesehatan. Ujian adalah kecacatan, juga kesempurnaan.
Orang yang buta diuji, apakah dengan ketidakmampuannya untuk melihat ia bersabar, atau terus menerus mengutuki hidupnya. Orang yang matanya sehat juga diuji, apakah dengan kemampuan melihatnya itu ia akan lebih khusyuk dalam melakukan kebaikan, atau justru semakin khilaf karena terbuai berbagai keindahan dunia yang semu.
Kita seringkali iri pada mereka yang selalu terpenuhi kebutuhannya karena banyak harta, padahal mereka posisinya sama dengan kita: sama-sama sedang diuji. Tiap-tiap kita diuji dengan persoalan-persoalan yang mampu kita selesaikan. Jadi, bila kita tidak diuji dengan banyaknya harta, barangkali kita memang belum punya kapasitas untuk menaklukkannya.
Tak perlu juga menyalahkan siapa-siapa. Sebab Allah hanya akan menguji sesuai dengan kemampuan manusia, dan hanya akan memberi sesuai kebutuhan manusia. Itu kaidahnya.
Cacing-cacing yang hidup di dalam tanah tak diberi mata dan telinga, karena mereka memang tak butuh itu—buat apa? Seandainya cacing-cacing itu diberi mata dan telinga, justru itu akan jadi beban bagi mereka.
Kalau kita memberikan peralatan bengkel pada seorang dokter untuk memudahkan pekerjaannya, si dokter akan terbebani karena dia tak butuh itu. Apa yang ia butuhkan untuk melakukan pekerjaannya adalah peralatan kesehatan.
Apa-apa yang kita miliki tapi sebenarnya tak kita butuhkan hanya akan menjadi beban.
Maka pantaslah jika Allah membutakan hati dan pandangan kita dari jalan-Nya, kalau kita tidak merasa membutuhkan petunjuk dari-Nya. Sebab itu hanya akan jadi beban bagi kita. Bukankah kita semua ingin hidup senang—melayang-layang tanpa beban?
….
Azhar Nurun Ala
dikutip dari Novel ‘Seribu Wajah Ayah‘ hal 97-99
dikutip dari Novel ‘Seribu Wajah Ayah‘ hal 97-99
Subscribe to:
Posts (Atom)