Sapaanmu, nasehatmu, teguranmu, rangkulanmu, dan doamu, semuanya adalah tanda cinta
Guru yang baik bagaikan petani. Mereka menyiapkan bahan dan lahan belajar, memelihara bibit penerus, menyirami karakter dengan ilmu, dan memupuk jiwa bibit-bibit itu dengan karakter yang luhur. Guru yang ikhlas adalah petani yang mencetak peradaban. (Disadur dari tulisan A. Fuadi dalam buku “Menjadi Guru Inspiratif”)
Mungkin karena doanya, kini saya mulai merangkai pemahaman aurat secara utuh bagi perempuan, setelah dulu saya begitu percaya diri menganggap jilbab adalah pakaian “sunnah”. Dalam benak saya kala itu, mereka yang berjilbab akan mendapat pahala, bagi yang tidak pun tidak apa-apa, hanya karena alasan, “Karena tidak semua muslimah berjilbab, berarti jilbab itu sunnah, Guru.”
Mungkin karena doanya, kini saya mulai memahami bahwa rasa malu adalah mahkota terindah bagi perempuan, sehingga untuk sekadar saling sapa dengan lawan jenis timbul rasa deg-degan yang membuat hati tidak tenteram.
Mungkin karena doanya, dulu saya yang sering absen dari hadapannya, hanya dengan alasan, “Maaf, saya ketiduran, Guru.” kini mulai memahami bahwa dakwah adalah pekerjaan yang semestinya menyita waktu tidur. Maka pernah pada suatu siang di selasar masjid, saya mendapati sang guru sambil terkantuk-kantuk membekali kami nasehat dan ilmu.
Terus terang Guru, ilmu yang engkau sampaikan kala itu sama sekali tidak saya ingat. Bahkan saya lupa di buku catatan yang manakah nasehat siang itu saya ikat dengan pena. Sekali lagi mohon maaf Guru, karena hingga kini yang masih membekas dalam ingatan saya adalah bagaimana bekas keletihanmu itu. Kalaupun catatanku kala itu tidak berbekas, semoga adab sebelum ilmu darimulah yang membekas lebih dulu.
Mungkin karena doanya, kini saya hampir tak pernah luput mendoakan kedua orang tua, sebab dahulu mereka pernah mewariskan nasehat tentang perniagaan yang tak ternilai bagi ayah dan ibu. Katanya waktu itu,
Bukan harta, bukan jabatan, bukan pula pekerjaan bergengsi yang akan membahagiakan mereka. Melainkan doa dari anak-anak yang shalih-lah yang kelak menjadi pelipur laranya. Maka kini mari sama-sama berjuang menjadi anak yang shalih bagi mereka, agar doa-doa kita semakin bercahaya.
Mungkin karena doanya, dulu saya yang sempat rabun dan sedikit tuli kini perlahan terobati, meski hingga kini pun saya tidak boleh putus berobat, khawatir sewaktu-waktu rabun dan tuli itu perlahan mengkronis dan tak terkendali.
Ittaqillaha haitsu maakunta, berusahalah untuk terus taat dimanapun engkau berada.
Katanya waktu itu, yang kemudian beberapa waktu setelahnya saya baru tahu bahwa kalimat itu adalah kutipan nasehat Nabi. Maka benarlah jika para guru seharusnya menjadi pewaris risalah Nabi.
Mungkin karena doanya, guru-guruku, yang bukan jebolan pesantren, universitas terkemuka, atau bahkan lulusan luar negeri itu berjuang dengan segenap kekurangannya demi menambal kekurangan-kekuranganku, sebagai bibit yang sedang ditanamnya.
Sungguh, siapa saja yang bisa memaksa dirinya untuk menerima kebenaran dari siapapun datangnya, maka dia telah bersikap rendah hati di hadapan kebenaran dan bersikap adil, serta obyektif. Inilah sifat pelajar sejati, dia mau menerima ilmu dari siapa saja, dimana saja, dan milik siapa saja. Ia tidak menjadikan ilmu yang dicarinya itu terbatas pada sebagian orang dan tidak (mau menerima) dari yang lain. (Imam Muhammad bin Zain bin Sumayth)
Mungkin karena doanya, guru-guruku, yang bersahabat setia dengan motor bebek yang rawan mogok itu, dengan segenap rasa letih dan kantuknya berjuang agar kami kebal dengan rasa letih dalam mencari ilmu, sebab kebodohan kelak memang lebih melelahkan.
Mungkin karena doanya, bibit-bibit yang sedang ditanamnya itu, di duapertiga perjalanan Ramadhan ini, menyambut doa-doa mereka dengan doa-doa pula. Semoga Allaahu Ta’ala memberkahi kehidupan mereka, hingga anak cucunya, sebab generasi merekalah yang esok menjadi bibit penerus perjuangannya.
Mungkin karena doanya, bibit-bibit yang sedang ditanamnya itu kini sedang berjuang menguatkan akarnya, melebatkan dedaunan dan bebuahannya, agar kelak hasratnya terbayar,
Jadilah seorang Muslim yang serupa pohon berakar kuat, berdaun lebat, lagi berbuah ranum. Ia kuat lagi menguatkan. Ia teduh lagi meneduhkan.
Maka ijinkan bibit-bibit itu berterimakasih kepada para petani yang telah mengubah rumput teki menjadi bakal beringin. Andai mereka tahu, jika pohon-pohon idaman itu sanggup berbicara, niscaya daun-daunnya akan menggetar hebat karena rasa syukur dipertemukan dengan petani-petani ikhlas serupa itu. Petani yang peluhnya tak pernah diupah. Petani yang kantuknya tak pernah lunas. Petani yang letihnya hampir-hampir beraroma darah.
Petani yang mungkin saja tak dikenal Bumi, namun kuharap seluruh penjuru Langit telah lebih dulu mengenal namanya.
Terimakasih telah bersedia menjadi petani yang merawat kami dengan segenap kesabaran, memupuk kami dengan sepenuh cinta, sehingga dengan itu kamipun belajar memahami apakah sebenarnya itu cinta.
Jangan katakan sesuatu pada seseorang bahwa inilah cinta. Cukup berbuatlah sesuatu, hingga nantinya ia tahu cinta itu apa.
Penulis "Laninalathifa"