“Eh tadi waktu Naya pulang dari ngajar ngaji, nggak sengaja ketemu sama Kak Fitri nih  Kak didepan alfamart. Hehe”
“Fitri siapa?”
“Fitri Pramesthi”
Keni tiba-tiba kaget bukan kepalang. Bagaimana bisa istrinya bertemu dengan sosok perempuan yang pernah ada didalam masa kelamnya dulu. Perempuan yang pernah mengisi cerita-cerita keindahan palsu. Masa yang Keni sebut sebagai masa jahiliyyah selama ini. Masa buruk yang harus dijauhkan dari istrinya dan dirinya sendiri.
“Kamu kok bisa kenal sama dia?”
“Iya dari dulu waktu pertama Naya kenal Kakak mah, Naya juga sudah kenal sama dia. Kakak emang sengaja nggak Naya kasih tahu weeee” Jawab istrinya dengan senyum tipis menyeringai. Memang, istrinya dalam hal apapun tak pernah lupa menyertai senyumnya. Istrinya paham, sebuah senyuman akan selalu menentramkan. Apalagi senyum itu dihadirkan untuk sosok yang dicintai. Hey, it’s a happiness for herself and her beloved husband. Right?
Sekali lagi, Keni kaget dibuat istrinya menganga. Bagaimana mungkin istrinya bertemu dengan Fitri? Bagaimana bisa sudah kenal lama? Bagaimana ini? Bukan, bukan apa-apa. Keni hanya takut dengan masa kelamnya dahulu. Ia selama ini dengan usaha keras menghindarinya. Ia tak mau mengingatnya lagi. Ingin melupakan semuanya. Keni takut jika istrinya nanti mengetahui semuanya, ia akan cemburu, ia akan sedih dan kecewa. Meski selama ini kadang ia berusaha jujur dengan sendirinya, tapi sejujurnya ia tak mau istrinya mengetahui masa kelamnya yang demikian. Satu waktu kadang ia mencoba bercerita sedikit demi sedikit agar istrinya tahu ia seperti apa, Keni hanya ingin agar istrinya bisa menerima  apa adanya, sekelam apapun masa lalu Keni. Hanya itu tujuannya. Tidak lebih.
Tapi untuk sekarang ini, Keni harus membuang jauh-jauh masa-masa itu, sekarang ia sudah berbahagia dengan gadis impiannya. Yang menerima apa adanya, yang tidak pernah mengeluhkan suaminya. Yang selalu tersenyum tulus dihadapan suaminya. Yang menjadi partner muroja’ahnya, yang setiap malam saling berbagi ilmu-ilmu yang dimiliki keduanya. Membacakan hadist dan menerangkan tafsir satu sama lain. Terkadang juga saling membacakan kisah yang bisa diambil ibrahnya. Atau, bisa jadi membacakan syair-syair untuk ditebak-tebak dan dikomentari. Yang selalu rela menunggu sampai larut malam tanpa diminta. Yang menyediakan air hangat untuk keperluan mandinya. Dan sebagainya. Keni hanya khawatir kalau Fitri nanti akan menceritakan ha- hal aneh tentang masa kelamnya dahulu. Lalu istrinya kecewa dan sedih dengannya.
“Kamu kenal dia dari mana sih?” Tanya Keni penasaran.
“Ya kenal. Kenal ya… kenal. Lupa juga ceritanya dulu kenapa bisa kenal. Haha”
“Dia pernah cerita apa aja ke kamu? Atau kamu cerita apa gitu, ke dia?” Sekali lagi, Keni bertanya dengan muka khawatir bercampur penasaran.
“Naya nggak pernah cerita apa-apa kok tentang Kakak. Kak Fitrinya sendiri yang cerita..”
“Cerita apa?”
“Cerita tentang masa lalunya sama Kakak, Naya cuman balas oh oh doang. Hehe ”
“Nay…. Jadi kamu sudah tahu? Kamu kepedesan?” Kata Keni dengan muka lemas dan bersalah.
“Kepedesan? Naya nggak lagi makan apa-apa kok kak” Jawab istrinya keheranan dan tidak paham. Iya, istrinya adalah perempuan lugu. Perempuan yang tidak paham apa-apa mengenai hal-hal dan bahasa-bahasa seperti itu. 
“Maksudku, kamu kok diceritain dia jawabnya oh oh doang? Hm?”
“Ya iyalah Naya jawabnya oh oh doang. Terus Naya harus nanya lebih jauh gitu? No, itu aib. Kata Bapak, nggak boleh bahas aib kemana-mana. Sekalipun itu suami Naya, Kak.”
Keni hanya membalas dengan senyum tipis. Keni bangga dengan istrinya. Ia baru sadar,  sebahagia ini mendapatkan istri yang begitu menyejukkan hati sekaligus matanya. Keni bahagia melihat istrinya selalu tersenyum dalam menanggapi masalah apapun. Keni bangga dengan wajah Naya yang ketika dipandang menyejukkan mata dan hati. Tak pernah sia-sia do’a yang Keni panjatkan selama ini. Mendapatkan istri yang qurrota a’yun. Menyejukkan pandangannnya.
“Kakak kok senyum? Kenapa?” Tanya istrinya masih dengan wajah tak paham.
“Nggak kok, Nay :)” 
“Oh.. yasudah” Jawab Naya sambil memeriksa hasil tulisan anak-anak TPQ yang tadi diajarnya.
Hening.
“Nay…”
“Iya, Kak?” Naya menoleh.
“Kamu kecewa ya sama Kakak? Kamu marah? Kalau kamu mau marah sama Kakak nggak apa-apa kok. Kakak siap menerima konsekuensinya dengan keadaan Kakak yang seperti dulu dan kamu yang sekarang. Kakak dulu memang seperti itu. Kakak si…………..”
“Kak, masa lalu Kakak adalah milik Kakak sendiri. Bukan milik Naya. Dan sebaliknya, masa lalu Naya adalah milik Naya sendiri. Bukan milik Kakak. Yang Naya tau dari Kakak sekarang adalah seseorang yang berusaha menjadi yang terbaik dan terus memperbaiki diri untuk Allah, untuk Naya serta untuk anak-anak kita nanti. Ketahuilah Kak, aib itu adalah sesuatu yang harus dibuang jauh-jauh. Tak perlu diungkit-ungkit lagi. Aib itu adalah sesuatu yang harus dikubur dalam-dalam. Jadi kalau sudah dikubur nggak boleh dibongkar lagi. Tak perlulah Naya harus tahu dan menanyakan masa lalu Kakak kayak gimana, intinya Naya nggak tahu dan nggak pengen tahu. Apalagi pengen tahu banget. Hm?
“Kakak coba lihat mata Naya deh..” Lalu keduanya saling pandang dengan hanya jarak beberapa sentimeter.
“Kak, yang Kakak lihat sekarang adalah masa depan. Masa depan itu bukan milik Kakak saja, juga bukan milik Naya saja. Tapi, masa depan adalah milik Kakak dan Naya sekaligus. Milik kita berdua, Kak. Sekarang Kakak sudah tahu kan?”
Keni tersenyum bahagia bercampur haru. Entah, dalam hal seperti ini Keni selalu dibuat istrinya tak mampu mengatakan sepatah katapun. 
“Kak, uhibbuka mitslamaa anta, uhibbuka kaifa maa kunta..” 
Untuk yang ketiga kalinya Keni tersenyum tipis melihat mata teduh sang istri, melihat istrinya yang begitu bahagia dengannya sekarang.
“Ih Kakak senyum-senyum mulu dari tadi ah”
“Abisnya kamu ngegemesin”
“Ih kakak gombal”
Keni tersenyum kembali “Ya gapapa, mumpung gombalin kamu gratis, nggak bayar. Dapat bonus pahala lagi”
“Ih Kakak…”
“Lhoh beneran, itu Nabi yang bilang. Bukan Kakak sendiri”
“Ih Kakak ah, bikin Naya malu”
Keni tertawa melihat istrinya salah tingkah dan malu. Entah, sebahagia apa Keni saat itu.