Aku tak pernah bertemu denganmu, aku tak pernah bertatap muka sekalipun denganmu. Bahkan dimimpipun aku belum bisa menjumpaimu. Meski kadang aku berdo’a disetiap malamku untuk segera dipertemukan denganmu. Tapi entah kenapa kerindukanku kepadamu mulai bertumpuk memuncak ketika mendengar namamu disebut-sebut, ketika sifat-sifat muliamu diceritakan, ketika perangaimu dipaparkan dengan indahnya oleh orang lain.
Aku hanya mengenalimu melalui cerita sahabat-sahabatmu, melalui orang-orang yang kau cintai, yang kemudian ditulis pada lembaran-lembaran yang sengaja dibuat oleh orang-orang terdahulu yang merekam dan menulis semua hal tentangmu.
Aku menyadari, aku bukanlah orang yang pengalaman dalam hal jatuh cinta, tapi ketika aku mengenali satu persatu dari sifat-sifat dan kisah-kisahmu, aku merasakan kebahagiaan yang mungkin tak cukup untuk diutarakan dengan deretan-deratan kata.
Kadang aku mengkhayalkannya meskipun sekejap menatap paras putih bercahaya yang kau miliki.
Jujur, rasa rindu dan rasa penasaran menyesak didalam diri ketika membayangkan sosokmu, yang menurut yang kubaca dari sirah-sirahmu, engkau adalah sosok terindah dari siapapun yang pernah ada dibumi ini. Kau lebih dari wajah tampan Yusuf, yang waktu kecil dulu kupahami sebagai Nabi yang paling tampan dan indah parasnya. Tapi ternyata persepsiku waktu kecil salah, sebab Yusuf hanya diberi setengah dari keindahan langit bumi dan seisinya. Tapi kau? Kau diberi Allah keindahan yang setara dengan seluruh alam semesta ini. Padahal aku tahu, Yusuf saja berhasil membuat perempuan-perempuan terkelupas jarinya ketika melihat wajah rupawan Yusuf. Entahlah, entah seperti apa sosokmu.
Sahabatmu, Abu Hurairah, pernah berkata bahwa dia tak pernah melihat sesuatu yang lebih indah daripada engkau, seakan mentari bersinar diwajahmu.Sekali lagi, bagaimanakah sosok indahmu itu?
Suatu malam yang indah, terpampang menawan bulan purnama yang berhias senyum simpul dengan taburan bintang gemintang. Ada lagi seorang sahabatmu, memandangi paras agungmu, ia menganga dan takjub, mengerti bahwa cahaya rembulan seindah itu tak lebih indah dari sorot cahaya yang menyemburat dari wajah mempesonamu. Lalu, seperti apakah wujudmu? Padahal kala itu, ketika para penyair melihat indahnya purnama saja mampu menggubah untaian-untaian syair tentang keindahan purnama itu. Lantas bagaimana jika para penyair tersebut melihat keindahan parasmu?
Abdullah bin Zubair. Iya, betapa beruntungnya ia, yang waktu itu diam-diam meminum darah bekammu, lalu engkau mengatakan bahwa tubuhnya tidak akan terkena api neraka sepercikpun. Ah, sebahagia apa ia kala itu?
Abdullah bin Zubair. Iya, betapa beruntungnya ia, yang waktu itu diam-diam meminum darah bekammu, lalu engkau mengatakan bahwa tubuhnya tidak akan terkena api neraka sepercikpun. Ah, sebahagia apa ia kala itu?
Ketika kau mencukur rambutmu, banyak dari sahabat-sahabat yang mengelilingimu, bukan untuk apa, tapi mereka hanya ingin memunguti rambut muliamu, mengambil tsawab berkah darinya. Hey, bahkan Khalid bin Walid tak pernah lupa menyelipkan rambut muliamu di topi perangnya sehingga ia merasa memiliki keberanian sepertimu. Hingga pada suatu waktu, ketika perang sedang berkecamuk, rambut mulia yang ada pada topi Khalid terjatuh, dan ia masih mencarinya ditengah perang itu. Bukankah ini sebuah cinta yang luar biasa?
Ummi Sulaim. Betapa bahagianya ia, yang mengumpulkan keringat wangimu untuk dijadikan parfum untuk dirinya, Yang kita mengerti bahwa tak ada parfum yang lebih wangi ketimbang keringatmu.
Cintaku memang tak seperti cinta para sahabat kepadamu, tapi izinkanlah aku mencintaimu dengan cinta yang sederhana. Menyebut-nyebut sosokmu di sebagian waktuku, menghidupkan sunnah-sunnahmu yang aku mampu, membayangkanmu melalui lembaran warisan orang terdahulu. Cinta yang biasa-biasa saja yang aku punya, yang aku mampu.
Barangkali aku belum mampu untuk mencintaimu lebih dari mencintai diriku sendiri, seperti inilah diriku. Yang masih lemah. Yang masih terjerembab dalam salah dan dosa. Padahal akupun tahu, Zaid bin Datsanah saja tidak suka jika engkau terkena duri kecil sekalipun, sementara ia bersenang-senang di kediamannya. Maafkan salahku.
Ah, tak apa. Paling tidak aku memiliki semangat belajar menjadi pecinta sejatimu, dengan melantunkan shalawat dan salam diwaktu senggangku.
Semoga suatu saat nanti aku bisa bertemu dengan dirimu disurga. Melepas kerinduan yang kini masih kusimpan dalam-dalam.
Semoga suatu saat nanti aku bisa bertemu dengan dirimu disurga. Melepas kerinduan yang kini masih kusimpan dalam-dalam.
Aku merindukanmu, Ya Rosulku. :’)
Via nailymakarima