Blogroll

Friday, 11 September 2015

Aku Merindukanmu


Aku tak pernah bertemu denganmu, aku tak pernah bertatap muka sekalipun denganmu. Bahkan dimimpipun aku belum bisa menjumpaimu. Meski kadang aku berdo’a disetiap malamku untuk segera dipertemukan denganmu. Tapi entah kenapa kerindukanku kepadamu mulai bertumpuk memuncak ketika mendengar namamu disebut-sebut, ketika sifat-sifat muliamu diceritakan, ketika perangaimu dipaparkan dengan indahnya oleh orang lain. 
Aku hanya mengenalimu melalui cerita sahabat-sahabatmu, melalui orang-orang yang kau cintai, yang kemudian ditulis pada lembaran-lembaran yang sengaja dibuat oleh orang-orang terdahulu yang merekam dan menulis semua hal tentangmu.
Aku menyadari, aku bukanlah orang yang pengalaman dalam hal jatuh cinta, tapi ketika aku mengenali satu persatu dari sifat-sifat dan kisah-kisahmu, aku merasakan kebahagiaan yang mungkin tak cukup untuk diutarakan dengan deretan-deratan kata.
Kadang aku mengkhayalkannya meskipun sekejap menatap paras putih bercahaya yang kau miliki.
Jujur, rasa rindu dan rasa penasaran menyesak didalam diri ketika membayangkan sosokmu, yang menurut yang kubaca dari sirah-sirahmu, engkau adalah sosok terindah dari siapapun yang pernah ada dibumi ini. Kau lebih dari wajah tampan Yusuf, yang waktu kecil dulu kupahami sebagai Nabi yang paling tampan dan indah parasnya. Tapi ternyata persepsiku waktu kecil salah, sebab Yusuf hanya diberi setengah dari keindahan langit bumi dan seisinya. Tapi kau? Kau diberi Allah keindahan yang setara dengan seluruh alam semesta ini. Padahal aku tahu, Yusuf saja berhasil membuat perempuan-perempuan terkelupas jarinya ketika melihat wajah rupawan Yusuf. Entahlah, entah seperti apa sosokmu.
Sahabatmu, Abu Hurairah, pernah berkata bahwa dia tak pernah melihat sesuatu yang lebih indah daripada engkau, seakan mentari bersinar diwajahmu.Sekali lagi, bagaimanakah sosok indahmu itu?
Suatu malam yang indah, terpampang menawan bulan purnama yang berhias senyum simpul dengan taburan bintang gemintang. Ada lagi seorang sahabatmu, memandangi paras agungmu, ia menganga dan takjub, mengerti bahwa cahaya rembulan seindah itu tak lebih indah dari sorot cahaya yang menyemburat dari wajah mempesonamu. Lalu, seperti apakah wujudmu? Padahal kala itu, ketika para penyair melihat indahnya purnama saja mampu menggubah untaian-untaian syair tentang keindahan purnama itu. Lantas bagaimana jika para penyair tersebut melihat keindahan parasmu?
Abdullah bin Zubair. Iya, betapa beruntungnya ia, yang waktu itu diam-diam meminum darah bekammu, lalu engkau mengatakan bahwa tubuhnya tidak akan terkena api neraka sepercikpun. Ah, sebahagia apa ia kala itu?
Ketika kau mencukur rambutmu, banyak dari sahabat-sahabat yang mengelilingimu, bukan untuk apa, tapi mereka hanya ingin memunguti rambut muliamu, mengambil tsawab berkah darinya. Hey, bahkan Khalid bin Walid tak pernah lupa menyelipkan rambut muliamu di topi perangnya sehingga ia merasa memiliki keberanian sepertimu. Hingga pada suatu waktu, ketika perang sedang berkecamuk, rambut mulia yang ada pada topi Khalid terjatuh, dan ia masih mencarinya ditengah perang itu. Bukankah ini sebuah cinta yang luar biasa?
Ummi Sulaim. Betapa bahagianya ia,  yang  mengumpulkan keringat wangimu untuk dijadikan parfum untuk dirinya, Yang kita mengerti bahwa tak ada parfum yang lebih wangi ketimbang keringatmu.
Cintaku memang tak seperti cinta para sahabat kepadamu, tapi izinkanlah aku mencintaimu dengan cinta yang sederhana. Menyebut-nyebut sosokmu di sebagian waktuku, menghidupkan sunnah-sunnahmu yang aku mampu, membayangkanmu melalui lembaran warisan orang terdahulu. Cinta yang biasa-biasa saja yang aku punya, yang aku mampu.
Barangkali aku belum mampu untuk mencintaimu lebih dari mencintai diriku sendiri, seperti inilah diriku. Yang masih lemah. Yang masih terjerembab dalam salah dan dosa. Padahal akupun tahu, Zaid bin Datsanah saja tidak suka jika engkau terkena duri kecil sekalipun, sementara ia bersenang-senang di kediamannya. Maafkan salahku. 
Ah, tak apa. Paling tidak aku memiliki semangat belajar menjadi pecinta sejatimu, dengan melantunkan shalawat dan salam diwaktu senggangku. 
Semoga suatu saat nanti aku bisa bertemu dengan dirimu disurga. Melepas kerinduan yang kini masih kusimpan dalam-dalam.
Aku merindukanmu, Ya Rosulku. :’)

Via nailymakarima

Cerpen: Masa Kelam



“Eh tadi waktu Naya pulang dari ngajar ngaji, nggak sengaja ketemu sama Kak Fitri nih  Kak didepan alfamart. Hehe”
“Fitri siapa?”
“Fitri Pramesthi”
Keni tiba-tiba kaget bukan kepalang. Bagaimana bisa istrinya bertemu dengan sosok perempuan yang pernah ada didalam masa kelamnya dulu. Perempuan yang pernah mengisi cerita-cerita keindahan palsu. Masa yang Keni sebut sebagai masa jahiliyyah selama ini. Masa buruk yang harus dijauhkan dari istrinya dan dirinya sendiri.
“Kamu kok bisa kenal sama dia?”
“Iya dari dulu waktu pertama Naya kenal Kakak mah, Naya juga sudah kenal sama dia. Kakak emang sengaja nggak Naya kasih tahu weeee” Jawab istrinya dengan senyum tipis menyeringai. Memang, istrinya dalam hal apapun tak pernah lupa menyertai senyumnya. Istrinya paham, sebuah senyuman akan selalu menentramkan. Apalagi senyum itu dihadirkan untuk sosok yang dicintai. Hey, it’s a happiness for herself and her beloved husband. Right?
Sekali lagi, Keni kaget dibuat istrinya menganga. Bagaimana mungkin istrinya bertemu dengan Fitri? Bagaimana bisa sudah kenal lama? Bagaimana ini? Bukan, bukan apa-apa. Keni hanya takut dengan masa kelamnya dahulu. Ia selama ini dengan usaha keras menghindarinya. Ia tak mau mengingatnya lagi. Ingin melupakan semuanya. Keni takut jika istrinya nanti mengetahui semuanya, ia akan cemburu, ia akan sedih dan kecewa. Meski selama ini kadang ia berusaha jujur dengan sendirinya, tapi sejujurnya ia tak mau istrinya mengetahui masa kelamnya yang demikian. Satu waktu kadang ia mencoba bercerita sedikit demi sedikit agar istrinya tahu ia seperti apa, Keni hanya ingin agar istrinya bisa menerima  apa adanya, sekelam apapun masa lalu Keni. Hanya itu tujuannya. Tidak lebih.
Tapi untuk sekarang ini, Keni harus membuang jauh-jauh masa-masa itu, sekarang ia sudah berbahagia dengan gadis impiannya. Yang menerima apa adanya, yang tidak pernah mengeluhkan suaminya. Yang selalu tersenyum tulus dihadapan suaminya. Yang menjadi partner muroja’ahnya, yang setiap malam saling berbagi ilmu-ilmu yang dimiliki keduanya. Membacakan hadist dan menerangkan tafsir satu sama lain. Terkadang juga saling membacakan kisah yang bisa diambil ibrahnya. Atau, bisa jadi membacakan syair-syair untuk ditebak-tebak dan dikomentari. Yang selalu rela menunggu sampai larut malam tanpa diminta. Yang menyediakan air hangat untuk keperluan mandinya. Dan sebagainya. Keni hanya khawatir kalau Fitri nanti akan menceritakan ha- hal aneh tentang masa kelamnya dahulu. Lalu istrinya kecewa dan sedih dengannya.
“Kamu kenal dia dari mana sih?” Tanya Keni penasaran.
“Ya kenal. Kenal ya… kenal. Lupa juga ceritanya dulu kenapa bisa kenal. Haha”
“Dia pernah cerita apa aja ke kamu? Atau kamu cerita apa gitu, ke dia?” Sekali lagi, Keni bertanya dengan muka khawatir bercampur penasaran.
“Naya nggak pernah cerita apa-apa kok tentang Kakak. Kak Fitrinya sendiri yang cerita..”
“Cerita apa?”
“Cerita tentang masa lalunya sama Kakak, Naya cuman balas oh oh doang. Hehe ”
“Nay…. Jadi kamu sudah tahu? Kamu kepedesan?” Kata Keni dengan muka lemas dan bersalah.
“Kepedesan? Naya nggak lagi makan apa-apa kok kak” Jawab istrinya keheranan dan tidak paham. Iya, istrinya adalah perempuan lugu. Perempuan yang tidak paham apa-apa mengenai hal-hal dan bahasa-bahasa seperti itu. 
“Maksudku, kamu kok diceritain dia jawabnya oh oh doang? Hm?”
“Ya iyalah Naya jawabnya oh oh doang. Terus Naya harus nanya lebih jauh gitu? No, itu aib. Kata Bapak, nggak boleh bahas aib kemana-mana. Sekalipun itu suami Naya, Kak.”
Keni hanya membalas dengan senyum tipis. Keni bangga dengan istrinya. Ia baru sadar,  sebahagia ini mendapatkan istri yang begitu menyejukkan hati sekaligus matanya. Keni bahagia melihat istrinya selalu tersenyum dalam menanggapi masalah apapun. Keni bangga dengan wajah Naya yang ketika dipandang menyejukkan mata dan hati. Tak pernah sia-sia do’a yang Keni panjatkan selama ini. Mendapatkan istri yang qurrota a’yun. Menyejukkan pandangannnya.
“Kakak kok senyum? Kenapa?” Tanya istrinya masih dengan wajah tak paham.
“Nggak kok, Nay :)” 
“Oh.. yasudah” Jawab Naya sambil memeriksa hasil tulisan anak-anak TPQ yang tadi diajarnya.
Hening.
“Nay…”
“Iya, Kak?” Naya menoleh.
“Kamu kecewa ya sama Kakak? Kamu marah? Kalau kamu mau marah sama Kakak nggak apa-apa kok. Kakak siap menerima konsekuensinya dengan keadaan Kakak yang seperti dulu dan kamu yang sekarang. Kakak dulu memang seperti itu. Kakak si…………..”
“Kak, masa lalu Kakak adalah milik Kakak sendiri. Bukan milik Naya. Dan sebaliknya, masa lalu Naya adalah milik Naya sendiri. Bukan milik Kakak. Yang Naya tau dari Kakak sekarang adalah seseorang yang berusaha menjadi yang terbaik dan terus memperbaiki diri untuk Allah, untuk Naya serta untuk anak-anak kita nanti. Ketahuilah Kak, aib itu adalah sesuatu yang harus dibuang jauh-jauh. Tak perlu diungkit-ungkit lagi. Aib itu adalah sesuatu yang harus dikubur dalam-dalam. Jadi kalau sudah dikubur nggak boleh dibongkar lagi. Tak perlulah Naya harus tahu dan menanyakan masa lalu Kakak kayak gimana, intinya Naya nggak tahu dan nggak pengen tahu. Apalagi pengen tahu banget. Hm?
“Kakak coba lihat mata Naya deh..” Lalu keduanya saling pandang dengan hanya jarak beberapa sentimeter.
“Kak, yang Kakak lihat sekarang adalah masa depan. Masa depan itu bukan milik Kakak saja, juga bukan milik Naya saja. Tapi, masa depan adalah milik Kakak dan Naya sekaligus. Milik kita berdua, Kak. Sekarang Kakak sudah tahu kan?”
Keni tersenyum bahagia bercampur haru. Entah, dalam hal seperti ini Keni selalu dibuat istrinya tak mampu mengatakan sepatah katapun. 
“Kak, uhibbuka mitslamaa anta, uhibbuka kaifa maa kunta..” 
Untuk yang ketiga kalinya Keni tersenyum tipis melihat mata teduh sang istri, melihat istrinya yang begitu bahagia dengannya sekarang.
“Ih Kakak senyum-senyum mulu dari tadi ah”
“Abisnya kamu ngegemesin”
“Ih kakak gombal”
Keni tersenyum kembali “Ya gapapa, mumpung gombalin kamu gratis, nggak bayar. Dapat bonus pahala lagi”
“Ih Kakak…”
“Lhoh beneran, itu Nabi yang bilang. Bukan Kakak sendiri”
“Ih Kakak ah, bikin Naya malu”
Keni tertawa melihat istrinya salah tingkah dan malu. Entah, sebahagia apa Keni saat itu.




Via nailymakarima

Sabar dan Istiqomah



Apa kamu sempat pernah terbesit pikiran disaat kamu sedang mengaji Al-Qur’an ? Entah itu membaca, menghafal, atau muroja’ah atau memperdalam makna dan tafsir-tafsirnya, dalam perjalanan kamu melakukan itu, kamu hanya meluangkan waktu sebentar? 
Kemudian kamu akan berpikir lebih jauh lagi dan mulai bertanya, “Kenapa ngajinya ga bisa tahan lama? Nggak bisa dalam waktu yang panjang? Kenapa cepat jenuhnya?”
Tiba-tiba dipikiran kamu terbesit kata-katanya sang khalifah rasyid, Utsman bin Affan, “Barang siapa yang hatinya bersih makan tidak akan pernah bosan  dengan Al-Qur’an.”
Terus kamu tertohok, dan kamu bertanya lagi, “Berarti kalau aku cepet bosen, cepet jenuh, hatiku masih kotor dong?”
Padahal kamu pengen banget bisa ngaji lama-lama, kamu pengen banget menikmati setiap untaian huruf demi huruf yang ada didalam mushafmu. Tapi kalau kamu nerusin ngaji, kamu sudah nggak nyambung, pikiran sudah kemana-mana. Kadang gitu bukan sih?
Ketika kamu mencoba bercerita pada seseorang didepan cerminmu, dia hanya bisa berkata, “Shobron jamil, Mbak… hehehe”
Mungkin seperti itu. Untuk mencintai, terkadang kita membutuhkan kesabaran, kita harus banyak-banyak menyediakan stok keistiqomahan. Bukan kesabaran yang biasa, bukan keistiqomahan biasa. Kesabaran dan keistiqomahan yang luar biasa. Mungkin kesabaran itu akan menghapus dosa-dosa  yang telah menutupi hatimu dari kalimat-kalimat indah-Nya. Mungkin keistiqomahan itu adalah salah satu cara yang menambah keberkahan dalam niat baikmu. Sabar dan Istiqomah. Nanti ada saatnya setiap rasa yang kau rangkai, akan selalu membuatmu berlama-lama dengan Al-Qur’an, meski terpaksa, meski sudah nggak nyambung, kamu tetap membacanya, menghafalnya, memurojaahinya. Seiring berjalannya waktu, kamu bakalan terbiasa kok. Mungkin seperti itu belum terbiasa. Okey, catat ya? Belum terbiasa. Kalau sudah dibiasakan pasti akan autopilot sendiri, sudah nggak jadi beban lagi. Sudah nggak jenuh lagi.
Witing tresno jalaran saka kulina. Bukankah cinta datang karena sering bersama dan terbiasa? Hm?
Allah pasti seneng kok lihat kamu berlama-lama bersama Al-Qur’an. Allah pasti akan selalu memberkahi orang-orang yang pengen deket sama Dia.Yakin kan kalau niat baik selalu mendapatkan pertolongan Allah?
Keep istiqomah, semangat menuju kebaikan ^^

Via nailymakarima

Wednesday, 2 September 2015

Menjaga



Kadang kita tidak perlu kemana mana. Disini saja, sendirian. Sudah cukup. Untuk sejenak diam dan merenung, telah sejauh apa melangkah dan seberkah apa yang dilakukan.
Kita sibuk berbuat tapi lupa apakah Allah senang.
Kita sering bersikap tapi lupa ada Allah yang melihat.
Kita sering berpikir ini cuma dosa kecil tapi lupa bahwa menyepelekan dosa jauh lebih bahaya.
Sebelum tidur, dalam sendiriannya kita, mencoba mengingat ingat. Betapa banyak kesalahan (yang kita anggap) kecil, kita lakukan tapi selalu diulang ulang dan disepelekan. Kalau malaikat punya rasa, tentu dia sudah bosan dengan kelakuan kita yang luar biasa tidak tau malu di hadapan Allah.
Sedang bumi berputar dengan tasbihnya, langit berdiri tegak dengan rasa takut yang luar biasa atas kemurkaan Allah. Israfil yang sejak diciptakan tidak pernah lengah untuk terus siaga mendengar perintah Allah meniup sangkakala.
Lalu kita disini, berbuat semau hati tanpa peduli sibuknya malaikat disebelah kiri.
Pada setiap izzah yang tidak terjaga, malu yang entah kemana, dan harga diri yang terlalu rendah, mari kita perbaiki.
Yang menjaga akan dijaga Allah.
Tegaslah.
Via CatatanBesarku
17 Agustus 2015 - 23:55

Penghalang Qiyamul Lail (Part 2)

Seseorang datang kepada Imam Ghazali untuk

menanyakan kepada beliau mengenai sesuatu
yang menyebabkannya tidak bisa bangun malam
untuk mengerjakan shalat.
Beliau menjawab, “Dosa-dosamu telah membelenggumu”.
Al-Hasan menjelaskan,“Diantara pertanda seseorang
itu tenggelam dalam dosa adalah bahwa dadanya
tidak pernah lapang untuk bisa mengerjakan puasa
di siang hari dan mengerjakan shalat sunnah di
malam hari”
Sufyan Ats-Tsauri berkata,“Aku pernah terhalang
(tidak bisa bangun) untuk mengerjakan shalat
malam selama lima bulan disebabkan satu dosa yang
aku lakukan”.
Ditanyakanlah kepada beliau,“Dosa apakah itu?”
Beliau menjawab,“Aku melihat seseorang laki-laki
yang menangis, lalu aku katakan dalam hatiku bahwa
yang dilakukannya sebagai bentuk kepura-puraan saja”.
Ya Allah jika hanya karena sebuah ucapan meremehkan
yang hanya terucap dalam hati membuat seorang shalih
terhalang dari shalat malam beberapa bulan, lalu bagaimana
jadinya jika engkau tak ridha dan tak mengampuni kami?
#Quraners
Surabaya, 2 September 2015

Batasan Berbakti Kepada Orang Tua (Tadabbur)


Bismillah
Jika kita perhatikan dengan baik di dalam AlQuran, ketika Allah memerintahkan untuk berbuat baik kepada orang tua, Allah selalu menggunakan Al-Walidaan/Al-Walidain (arti: kedua orangtua).
Kenapa? Padahal dalam bahasa arab, abawaan atau abawain juga berarti kedua orangtua. Kenapa Allah tidak menggunakan kata abawaan? Kenapa harus walidaan?
Inilah hebatnya Al-Quran. (Penjelasan saya mungkin akan membingungkan, mohon untuk dibaca dengan seksama)
Mari kita lihat perbedaan kedua kata ini, yang ternyata akan berpengaruh pada ‘batasan’ kita dalam berbakti kepada orangtua.
Dalam bahasa arab, waalidaan (walid dan walidah) itu berarti ayah dan ibu, abawaan (abb dan umm) juga berarti ayah dan ibu. namun bedanya al-waalid itu ayah dan ibu yang melahirkan saja tanpa (harus) membesarkan dan mendidik. Sedangkan Al-Abawaan itu dipakai untuk ayah dan ibu yang melahirkan dan juga mendidik serta membesarkan.
Saya ulangi, waalid itu lebih umum dari abb, waalid itu dipakai untuk orangtua yang melahirkan saja. (Jadi semua versi orangtua apakah ia membesarkan dan mendidik ataupun tidak, ia termasuk pada istilah waalid) sedangkan abb (dan juga umm) dipakai untuk ayah dan ibu yang melahirkan kemudian membesarkan dan mendidik. Semoga bisa dipahami sampai sejauh ini.
Maka berawalkan dari istilah ini kita bisa memahami perintah Allah: wabil walidaini ihsaana (dan kepada orang tua maka berbaktilah)
Dengan menggunakan Waalidain, maka artinya berbaktilah kepada orang tua, meskipun mereka ‘hanya’ melahirkanmu meskipun mereka tidak membesarkan dan mendidikmu, tetaplah berbakti kepadanya.
Akan lain ceritanya jika Allah menggunakan kata Abb wa Umm atau Abawain, maka perintah berbakti kepada orangtua hanya terbatas jika orangtua itu membesarkan dan mendidik mereka, jika tidak maka tidak wajib berbakti kepada mereka.
Bisa dipahami kan? :)
Begitulah perintah Allah dalam berbakti kepada orangtua, apapun perlakuan mereka terhadap kita, Allah mengatakan tetaplah berbakti kepada mereka.
Kemudian pemahaman yang juga terkandung dalam perintah ini, adalah jika orangtua tidak mendidik kita saja Allah masih tetap memerintahkan kita untuk berbakti kepada mereka maka apalagi jika orangtua ‘hanya’ banyak melakukan kesalahan kepada kita. Ya, mereka pasti banyak kekurangan dan kesalahan dalam mendidik dan membesarkan kita, tapi bukan berarti dengan segala kekurangan dan kesalahan itu membuat kita tidak berbakti lagi, atau membuat rasa hormat kita menjadi berkurang.
Berbaktilah kepada mereka, terimalah mereka apa adanya, terimalah kekurangan mereka. Karena mereka adalah orangtua kita, karena Allah memerintahkan kita untuk berbakti kepada mereka.
Bahasan ini sebenarnya amat panjang, semoga maksudnya tetap tersampaikan meskipun singkat.
Kemudian terakhir, begitulah indahnya AlQuran, tidak sembarangan Allah menggunakan setiap kata di dalam AlQuran ini.
Beginilah juga indahnya tadabbur, begini jugalah perlunya kita memahami bahasa arab. :)
Sekian dulu, atas segala kekurangannya saya mohon maaf. Jika ada salah mohon dikoreksi.
Bandung, 1 September 2015
Akhuukum, Ibrahim Musa Ashidiqie

Menunggu Adalah Bentuk Memperjuangkan



Ketika bicara menunggu, itu bukan tentang berapa jam, hari, dan bulan.
Kita bicara tentang titik di mana kita akhirnya memutuskan untuk percaya.”
- Laksmi Pamuntjak
Bagi setiap hati yang ingin diperjuangkan,
Ada kepercayaan yang perlu ditumbuhkan. Ada kesabaran yang perlu dirawat. Ada rindu yang belum saatnya terucap. Ada untaian doa yang lebih dari sekadar kata.
Bagi setiap hati yang ingin diperjuangkan,
Kita akan belajar bahwa menunggu adalah salah satu bentuk perjuangan. Sebab kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi jika kita menyerah. Kita pun tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi jika kita berhenti bersabar.
Bagi setiap hati yang ingin diperjuangkan,
Seorang perempuan harus menunggu hingga pembukaan kesekian untuk melahirkan buah hatinya. Seekor ulat harus menunggu di dalam kepompongnya untuk menjelma kupu-kupu yang jelita. Sebongkah batu harus menunggu untuk ditemukan hingga diasah menjadi intan permata.
Apakah menunggu berarti tidak memperjuangkan?
Semesta bergerak. Takdir akan mendekatkan apa yang telah digariskan sesuai rencana-Nya. Takkan ada yang tertukar. Takkan ada pula yang tak indah.
Bagi setiap hati yang ingin diperjuangkan,
Ada yang menunggu. Dan sedang berjuang dalam penantiannya.
***
Source: fadlillahocta