Wanita itu, yang sentuhannya lebih hangat dari mentari pagi. Memecah dingin bersamaan dengan kumandang adzan subuh. Disentuhnya pundakku halus, menggugahku penuh sabar, untuk menghadap Allah.
Wanita itu, yang bahunya mampu menopang seisi dunia, mengerjakan segala urusan rumah. Merapikan kamarku, membenarkan posisi koleksi bukuku, menggantung baju yang berserakan.
Wanita itu, yang batinnya lebih kuat dari sambaran guntur, meski terkena sakit, meski terkena demam. Namun cahayanya selalu setia memancar. Membuat seisi rumah, selalu dalam keadaan sakinah.
Wanita itu, yang suaranya mampu menyulam hati penuh kehangatan. Tak pernah absen memberi nasihat. Nasihat ibadah, kuliah, dan perempuan.
Wanita itu, yang memiliki kasih sayang lebih lebar dari sayapnya, selalu terjaga sepanjang malam ketika aku sakit. Tanpa mengeluh meski harus mondar-mandir ke dapur hanya untuk membawakan air putih. Tetap tersenyum ikhlas dengan tatapannya yang sebening embun.
Wanita itu, yang paling khawatir ketika jam pada dinding ruang tamu telah menunjukkan pukul sepuluh dan aku dengan tanpa kabar entah kemana. Tetap tersenyum, menungguku di ruang tamu.
Wanita itu, yang mampu membawakan angin penuh kerinduan. Membuat jarak tak lagi berarti, meski jarak memisahkanku dengannya. Pun tak pernah luput menghubungiku, ketika langit penuh bintang yang menghempaskan cahayanya, ketika bulan melepas rindu kepada bumi. Bercerita sepanjang malam suntuk, penuh warna dan tawa. Meski setelah itu, terkadang isak tangis menghiasi ingatanku padanya.
Wanita itu, yang selalu kudo'akan dalam tangis sepertiga malam, dirinya aku sisipkan dalam tahajud. Agar panjang umurnya, agar diterima ibadahnya, agar Allah mengampuni dosanya, sebagaimana ia mendidikku dan memaklumi kenakalanku sewaktu kecil.
Dan…
Wanita itu, yang telapak kakinya lebih berharga dari dunia dan seisinya.
Bogor, 12 Juni 2015 | Seto Wibowo
No comments:
Post a Comment