Blogroll

Thursday, 25 February 2016

Allah Memberikan Kesempurnaan

Pati, 10 April 1992. Allah memberikanku kesempurnaan. 
Memberi hikmah tak terkira bagi keluarga kami. Setelah berjuang selama hampir 12 jam, hari itu aku dilahirkan lewat Rahim seorang ibu yang tangguh. Sungguh sulit membayangkan apa yang dirasakan oleh Bapak dan Ibuku setelah mengetahui buah hatinya tidak terlahir sebagaimana anak-anak lainnya, badan mungilku dicekoki kabel dan inkubator, tanpa tangisan. Asphyxia neonatal mengalahkan syaraf-syaraf tubuhku, lengkap dengan vonis dokter bahwa fisikku takkan bertahan lama melihat indahnya dunia. 
Hari itu, boleh jadi adalah awal dari segenap kisah cerita hidup yang terus mewarnai keluarga kami. Muhammad Zulfikar Rakhmat, dilahirkan dengan keterbatasan, tanpa syaraf tangan dan ujung lidah yang tidak berfungsi sempurna. Sulit membayangkan apa yang dirasakan orang tuaku saat itu. Namun, kuyakin bukanlah keterbatasan fisik yang mereka sesalkan melainkan ketakutan akan masa depan, masa depan anaknya yang harus hidup dengan perjuangan. Perjuangan yang “berbeda” untuk mendapatkan kebahagiaan.
Semarang, 1 Juli 1996. Allah memberiku kesempurnaan. 
4 tahun setelah aku dilahirkan. Nyatanya Allah lah pemberi kehidupan. Meski tak mampu berbicara normal sebagaimana anak-anak lainnya, setidaknya ayah dan ibuku cukup berbangga karena anaknya mampu bertahan dan kini sudah pantas untuk bersekolah. Yang kuingat, saat itu, ayahku mencoba mendaftarkanku ke Sekolah Dasar formal. 
Tapi sayang, seluruh sekolah dasar di Semarang menolakku, dengan berbagai alasan terkait dengan keterbatasan yang kumiliki. Namun, aku bersyukur didampingi ayah dan ibu yang hebat. Dengan penuh keyakinan ayah dan ibuku menemui beberapa orang dan lembaga–cara logis dan umum yang dilakukan oleh banyak orang di Indonesia. Anda punya masalah? Temui mereka yang ‘penting’, syukur-syukur berakhir dengan solusi dan “sedikit” rasa iba. Tapi, benar saja, Alhamdulillah, Allah memberikanku jalan. Tak berapa lama, ikhtiar ayahku dijawab Allah dan aku diterima di sekolah formal, SD Al Azhar di Semarang. 
Berulang kali aku berucap syukur, entah apa jadinya jika saat itu tak satupun sekolah “normal” yang mau menerimaku. Barangkali Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah jalan pilihan yang harus ditempuh. Sekolah Luar Biasa yang sebetulnya tidaklah luar biasa bagi kami kaum difabel. Karena di sekolah itulah biasanya otak kaum difabel dikerangkeng, hati dan fisik mereka dipisahkan dari komunitas. Sekolah yang justru memberikan“keterbatasan” yang sesungguhnya bagi kaum difabel untuk lebih menikmati kehidupan. 
Hari-hari sekolah kujalani penuh cerita. Cerita yang berbeda. 
Jika boleh jujur, dari hati yang paling dalam, sungguh aku tak ingin lagi mengulang detil cerita luka yang kualami sewaktu sekolah. Awalnya kupikir, cukuplah ini menjadi hikmah dalam hidupku yang harus kutimbun dalam-dalam di hati. Tapi belakangan kusadar, ini sesunggunnya bukanlah cerita menyedihkan. Harusnya ini menjadi cerita membahagiakan tentang kekuatan dan keberhasilanku melawan keterbatasan. Harusnya ini menjadi cerita hikmah yang harus didengarkan oleh banyak kaum difabel di luar sana yang kalah melawan keterbatasan. Harusnya cerita ini juga didengarkan oleh setiap orang yang penuh kesempurnaan di dunia ini, agar kami kaum difabel bisa berjalan beriringan dalam setiap cerita-cerita hidup mereka. 
Bullying, satu kata yang terus menghukum jantung hatiku semenjak belasan tahun yang lalu. Hari-hari disaat dilecehkan teman, didorong hingga membuat kepalaku penuh jahitan, dikucilkan dari pergaulan, dan pulang ke rumah dengan tangisan. Yang kuingat adalah tak ada yang bisa kulakukan selain berdiam diri di kelas di saat yang lain berlarian di jam istirahat. Datang ke sekolah se-akhir mungkin dan pulang se-awal mungkin. Datang lebih awal adalah membuka kesempatan mendapatkan ciutan dan pulang lebih awal adalah satu-satunya jalan untuk melarikan diri dari pergaulan. 
Dari semua cerita, satu hal yang masih kuingat jelas, mereka yang selalu meragukan kemampuanku. Ada satu pertanyaan yang sering kuterima, “Apa cita-citamu?” Pertanyaan yang sebetulnya standar buat anak SD yang waktu itu belum tahu apa-apa. Dengan penuh keyakinan aku selalu jawab, “Cita-citaku menjadi seorang guru.” Tapi sayang sekali beberapa dari mereka meragukannya dan ada yang menertawakannya, bahkan ada juga yang mengatakan, “Gimana mau menjadi guru, nulis aja gak bisa?” 
Entahlah, apa yang kualami saat itu boleh jadi adalah ujian dan hikmah dari Allah. Tapi Allah sangat adil terhadap hamba-hambanya. Di balik segala cerita itu, Allah menganugerahkanku ayah dan ibu yang hebat. Setiap kali pulang ke rumah, Ayah dan Ibuku selalu tersenyum “bahagia” dan menyambut dengan berkata, “Jangan biarkan keterbatasan mengalahkanmu,” serta membelaiku dan mencoba mencari alasan agar seolah-olah masuk akal bahwa cerita bullying itu adalah masalah kecil yang tidak perlu dipikirkan meski kutahu saat itu sebetulnya beliau menanggung beban yang jauh lebih berat dari apa yang kualami dan kupikirkan. 
Semarang, 1 Juli 2004. Allah memberikanku kesempurnaan. 
Kesehatan selalu menjadi anugerah terindah yang diberikan Allah. Tahun itu kutamatkan Sekolah Dasar dan melanjutkan pendidian ke jenjang SMP. Meski bullying masih terkadang kualami dari hari ke hari, tapi sepertinya hati ini sudah mulai kuat, setidaknya tak ada lagi tangisan. Berulang kali kumotivasi diriku untuk melakukan apa yang siswa normal lainnya lakukan. 
Ternyata benar, ikhtiar dan kerja keras adalah jalan untuk mendapatkan kesetaraan. Beberapa kali, aku terpilih sebagai juara lomba pidato dan santri terbaik serta lulus dengan nilai ujian nasional yang memuaskan. 
Perlahan percaya diri itu mulai muncul. Aku bisa melihat Ayah-Ibuku mulai tersenyum bahagia bahwa perjuangan beliau menjadi kenyataan. Bahwa aku bukan lagi anak yang lemah dan “terbatas”. Melalui perjuangan tanpa lelah mendampingiku dari waktu ke waktu, Merekalah yang sebetulnya berhasil meruntuhkan segala “keterbatasanku”. 
Qatar, 30 Mei 2007. Allah memberikanku kesempurnaan. 
Kami sekeluarga pindah ke Qatar. Cerita baru yang menjadi awal bagi keluarga kami hidup di perantauan. Namun benar saja, momen ditolak sekolah terulang kembali. Setelah berkeliling satu negara, tak ada satu sekolahpun yang mau menerimaku. Strategi menemui ‘orang penting’ tak mungkin lagi bisa dilakukan. Waktu itu, ayahku sempat kehabisan akal hingga mulai terpikir untuk mengirimku kembali ke Indonesia. 
Tetapi Allah memang Maha Besar. Beberapa hari setelah itu, akhirnya sebuah sekolah menerimaku sebagai siswa di Qatar. Benar adanya, bahwa perjuangan hanya akan berhenti setelah ajal menjemput. Sekolah di Qatar membawaku pada bentuk perjuangan lain. Bergaul dengan lingkungan yang asing lengkap dengan keasingan bahasa dan sifat-sifat mereka. Tapi setidaknya, ada satu hal yang berbeda, tak ada lagi bullying. 
Hari-hari yang kulewati bukan lagi saat-saat memendam rasa benci terhadap teman yang mem-bully, perjuanganku jauh lebih “membahagiakan”–belajar bahasa Arab dan belajar bagaimana mencari teman. Kebahagiaan yang justru kudapatkan setelah pergi ribuan kilometer dari Bumi Pertiwi.
Qatar, 1 Maret 2010. Alah memberikanku kesempurnaan. 
Anak yang dulu dilahirkan tanpa tangisan dan banyak keterbatasan, diterima dengan beasiswa di Qatar University. Belajar dengan ulama-ulama besar dunia. Sungguh anugerah yang luar biasa yang Allah ciptakan. Ini adalah titik balik pengharapanku untuk menjadi orang yang jauh lebih berarti buat keluargaku dan orang-orang di sekitarku. 
Rasa terima kasih yang tidak pernah bisa berbalas buat teman-temanku semasa kuliah yang meluangkan waktunya menjemput dan mengantarkan untuk berangkat kuliah. Dukungan mental yang luar biasa sebagai jawaban atas kelemahanku. 18 tahun umurku, alhamdulillah, akhirnya kunikmati apa itu makna persahabatan. Persahabatan yang tulus, tanpa berharap kembali, persahabatan yang akan kuingat sampai tua nanti. 
Jika boleh jujur, persahabatan itu juga yang menjadi asa dan semangatku yang sebenarnya. Efeknya, aku memahami apa itu menjadi manusia yang utuh, percaya diriku mulai tumbuh. Alhamdulillah nilaiku melonjak drastis. Tulisan-tulisanku mulai dimuat di outlet lokal dan internasional. Berbekal nilai IPK yang hampir sempurna kuselesaikan kuliah sarjana dengan predikat lulusan terbaik dan salah satu yang tercepat di Qatar University. 
Aku juga diberi kesempatan menunaikan ibadah umrah. Entahlah, serasa mukjizat yang sulit digambarkan di saat melihat orang tuaku tersenyum haru melihat anaknya mendapatkan penghargaan langsung dari Raja Qatar di hari wisudaku saat itu. 
Manchester, 12 September 2014. Allah memberikanku kesempurnaan. 
Aku diterima di salah satu universitas yang diidamkan banyak orang, University of Manchester. Pencapaian yang mudah-mudahan menjadi awal baikku untuk mewujudkan cita-cita menjadi guru di tanah kelahiranku. Dari hijaunya Bumi Pertiwi dan panasnya gurun pasir Timur Tengah, hari ini kujejaki dinginnya tanah Britania, bergaul dengan ilmuwan hebat dunia dan bertemu dengan kawan-kawan yang punya cerita perjuangan yang mengesankan. 
Kurasakan tangan ini sudah jauh lebih kuat, lidah ini jauh lebih kuat. Syaraf-syaraf itu serasa berfungsi kembali, berfungsi kembali dalam arti yang sesungguhnya–menjadi manusia yang sempurna. 
Aku sadar sesadar-sadarnya ternyata Allah tak pernah memberikanku keterbatasan. Semenjak aku dilahirkan, aku diaugerahkan kesempurnaan yang tak terhitung jumlahnya. Kesempurnaan yang kusadari setelah dua dasawarsa raga ini hadir di dunia. Untuk orang tuaku, sahabatku, rasa terima kasihku tak mungkin bisa terbalaskan dengan kata-kata dan harta, hanya doa yang bisa kusampaikan. Semoga Allah juga membalas segalanya dengan kesempurnaan untuk kalian. 
Manchester, 11 November 2015. Allah memberikanku kesempurnaan. 
Di sebuah taman kecil, di selatan kota Manchester, aku terduduk di sebuah bangku kayu. Cuaca hari ini sedang dingin-dinginnya. Langit biru kembali muncul seusai kabut pekat beranjak. Angin berembus semilir. Musim dingin sudah berada di ujung pintu. Seketika aku teringat saat aku berdiri di depan kelas dimana aku mengutarakan mimpi belajar ke Inggris di hadapan guru dan teman-temanku. Hari ini, impian tersebut terkabul. 
Seorang anak yang dulu dilahirkan tanpa tangisan dan penuh keterbatasan, hari ini menamatkan strata pendidikan magister dengan predikat memuaskan dari salah satu universitas bergengsi di dunia. Sungguh, Allah menjawab mimpi-mimpiku dengan cara yang sama sekali tak terduga. Ia tak hanya mengabulkan, tapi juga menambah-nambahnya dengan luar biasa. 
Mimpi besar telah mengantarkanku pada pengalaman yang tak terpikirkan sebelumnya. Mendapat pendidikan terbaik dari Timur Tengah, belajar agama dari ulama-ulama dunia, serta diberikan kesempatan untuk berhaji ke rumah-Nya. Dulu semua ini hanyalah mimpi-mimpi yang terparkir di dinding kamarku, juga mimpi-mimpi yang dulu hanya kutulis dalam hati, mimpi yang dulu rasa-rasanya tidak mungkin tercapai untuk seorang anak yang tak mampu untuk menulis dan berbicara dengan jelas, mimpi yang selalu ditertawakan dan diragukan. 
Tapi, hari ini kubuktikan tidak ada yang bisa mengalahkan mimpi, semangat, perjuangan, keyakinan hati, dan izin Tuhan. Kehidupan telah mengajarkanku banyak tentang perjuangan, perjuangan yang harusnya juga dilakukan oleh kawan-kawanku di luar sana yang hari ini harus tersisihkan dengan keterbatasan. 
Allah (selalu) memberikan kita kesempurnaan. 
Yang masih ingin menjadi guru, 

muhzulfikar

Tuesday, 23 February 2016

Jubah Kemuliaan untuk Abi dan Ummi




Napoleon Bonaparte pernah mengatakan “The Qur’an wich alone can lead men to happiness.” Hanyalah Al Qur’an satu-satunya kebenaran yang mampu memimpin manusia kepada kebahagiaan.
Kita sebagai umat muslim tentu tahu betapa Al Qur’an sangat hebat, sangat ajaib, dan sangat luar biasa. Al Qur’an sebagai pedoman hidup umat muslim yang Allah berikan melalui manusia pilihan-Nya yaitu Nabi Muhammad SAW. Sebagai mukjizat, tentu Al Qur’an memiliki banyak keistimewaan.
Jika seorang Napoleon Bonaparte yang lahir tidak sebagai muslim saja sangat meyakini betapa Al Qur’an satu-satunya kebenaran, sudah semestinya kita sebagai umat muslim lebih mengagumi dan meyakini dengan kemuliaan Al Qur’an.

Sunday, 21 February 2016

H.A.T.I




Hallo Hati, Selamat Pagi :)

semoga selalu dalam istiqomah dalam dzikirmu pada-Nya

Hari ini, saya ingin sedikit berbincang-bincang padamu.

Kau tahu hati, tentang sebuah kehidupan manusia yang jalannya amat panjang, berliku, terjal, aral melintang, penuh pengorbanan, penuh ujian, dan harus tetap stiqomah dalam keimanan dan ketakwaan.

Friday, 19 February 2016

Saat Perempuan Khawatir




Di saat perempuan begitu khawatir dengan peralatan make-up yang mulai habis. Ada seseorang yang khawatir jika dia lupa menggunakan kaos kaki ketika pergi.
Di saat perempuan begitu khawatir akibat menggunakan lipstik yang terlewat merah. Ada seseorang yang khawatir jika dia menggunakan kerudung yang begitu pendek dan tipis, yang begitu menerawang dipandang umum.

Kepada Jodoh Saja



Topik tentang jodoh selalu menjadi pembicaraan hangat di kalangan mereka yang memasuki usia 20an. Bukan lagi bicara tentang jatuh cinta ala ala ABG atau semacamnya, melainkan mereka yang berada di kisaran usia tersebut mulai memikirkan tentang komitmen dan masa depan. Wajar. Dan bahkan selayaknya demikian.
Tapi tahukah Anda, di tengah pemahaman yang semakin membaik tersebut (bahwa membicarakan pasangan bukan lagi bicara sebatas cinta, melainkan sampai pada keselarasan visi misi dalam menatap dunia), musuh bebuyutan kita selalu saja menemukan celah untuk merayakan penggodaannya.