“Pak,” ujar saya lirih, setengah putus asa. Tapi di satu sisi berharap bukan main pada pria di depan saya tatkala itu.
Tengah dilanda kering iman, kemudian saya bertanya padanya.
“Saya suka su’uzan, merasa do’a tidak layak dikabulkan, karena saya tidak layak. Salah nggak ya, Pak?”
Pria di depan saya, alias yang saya tanyai, tergolong unik. Kombinasi ilmu manajemen serta tasawuf melekat dalam dirinya. Perpaduan yang langka.
Sudah ada dua (atau tiga, hem lupa, hehe) bulan beliau mengajar kawan-kawan manajemen Masjid Salman ITB ihwal manajemen lembaga zakat.
Semula, kupikir ilmu manajemen ialah ilmu yang kering.
Namun stigma itu luntur seiring si Bapak yang kerap kali mengguyurkan pelajaran zikir, kisah-kisah nyufi di tengah-tengah pembelajaran.
Kembali pada scene tiul-bertanya, kemudian Bapak bilang begini,
“Nggak apa-apa, do’a saja! Percaya. Sering-sering istighfar. Karena istighfar melunturkan dosa.”
Saya mengangguk. Dengan lirih, hati mengucap istighfar. Berharap dengan remah sisa iman yang ada, perlahan jiwa terhangati.
Kemudian Bapak bilang, sulit masuk surga. Apalagi hati yang bersih, harus dijaga setiap saat. (Deg. Sedih.)
Iman ditumbuhkan agar berbuah. Buah dari iman, adalah kebermanfaatan maha hakiki. Ia menumbuhkan bibit-bibit yang terpendam dalam relung hati manusia.
Namun kalau sudah bebal, bagaimana? Heu.
Bapak bilang begini, “Perbanyak baca laa ilaha illallah. Seperti hadits nabi,” pesannya. “Imbuhkan dengan kalimat Asmaul Husna, seperti Yaa Rahman, Yaa Rahiim. Pelajari maknanya.”
Hem. Iya, ya. Kalimat bagai mantra. Dengan lisan sebagai pelayan, ia adalah kredo yang merasuk jiwa. Pada akhirnya, ia menghidupkan.
Yaa Rahman, ialah yang maha pengasih. Allah memberi peluang hidup bagi triliunan organisme di dunia.
Yaa Rahim, Maha Penyayang. Ia memiliki persembahan spesial, bagi hamba-hambaNya yang tulus mencintaiNya.
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa anak hipster kekinian, “Being loved by someone you love is the greatest feeling.” Ihiw.
“Kasih sayang yang diberikan atas nama Ar-Rahim, nikmatnya berkali-kali lipat ketimbang atas nama Ar-Rahman.”
Karena yang namanya cinta tak melulu yang menggebu. Kadang ia adalah laku kerja yang awalnya membosankan.
Kendati hati ini tengah bebal lagi kering– namun adakalanya kesadaran perlu dibangkitkan secara “kuli”.
Baik melalui lisan yang tertatih dan terpaksa, pernyatan sikap yang dibikin logika otak, atau tata laku yang dipraktikkan oleh konfigurasi sistem gerak tubuh.
Adakalanya, hati membimbing lisan dan logika. Namun terkadang sebaliknya, lisan, logika, dan perilakulah yang membimbing hati
Ya Rahman, Ya Rahiim.
Maaf atas hati yang masih bercabang-cinta. Dunia yang membayangi. Hawa nafsu yang merajai. Putus asa yang menjalar tersembunyi.
Sungguh hamba bosan dengan kesemuanya, ya Rabb!
Sempurnakan hamba. Nyalakan pijar iman yang hampir padam di hati hamba.
Nikmatnya iman bukan hamba yang mencipta, namun Engkaulah yang memijar lentera iman di lubuk hati. Terangi, hamba, ya Allah.
“Perbaharuilah iman kamu,”
Beliau ditanya: “Bagaimana kami memperbaharui iman kami?”
Beliau menjawab: “Perbanyaklah mengucapkan kalimat laa Ilaha Illallah. “ [HR. Ahmad : 8944 dan Al Hakim : 7766]
*Gambar dari sini.
Via kalengikansarden
No comments:
Post a Comment