Blogroll

Wednesday, 6 November 2013

Pak kilo...jiwa nasionalisme yang tak pernah tua.


Abdul ghani, adalah seorang laki – laki tua yang berusia lebih 80 tahun, yang biasa di panggil pak kilo oleh masyarakat di desa labuang kallo. Sekilas tidak ada yang istimewa dengan orang tua ini, sama seperti lansia pada umumnya, pak kilo tampak sudah sangat tua, dengan tulang belakang agak sedikit bongkok, dan kulit yang sudah sangat keriput. Dengan kegiatan sehari – harinya memacing ikan di atas jembatan yang kemudian di asinkan untuk di jual. Di balik usia yang mulai senja, pak kilo memiliki jiwa semangat nasionalisme nya dan rasa kecintaan pada anak – anak yang luar biasa.
Saat itu hari senin, seperti pada sekolah pada umumnya yang melakukan rutinitas upacara bendera. Sekolah kami pun melakukan hal yang sama. Namun kami melakukan upacara bendera tidak sama seperti sekolah lainnya yang dilakukan di halaman atau lapangan sekolah. Kami melakukan nya di teras kelas, ini dikarenakan sekolah kami yang berada di pesisir pantai yang selalu tergenang air laut ketika pasang, sehingga tidak memiliki halaman sekolah. Satu – satu nya lapangan kami yang berbentuk panggung ukuran 6 x 10 meter telah roboh dan hancur dimakan usia dan terjangan air pasang laut. Namun niat kami untuk melakukan upacara tetap kami lakukan sebagai rasa syukur kemerdekaan di atas keterbatasan fasilitas yang ada.
Setelah upacara, kami pun bergegas untuk memasuki kelas masing – masing. Sebelum masuk kelas aku sempat melakukan percakapan dengan salah satu guru yang bernama bu ros. “ pak...sudah kah anak – anak menaruh papan sisa lapangan yang roboh ke dalam kelas?” tanyanya. “ sudah bu, mungkin sekitar belasan papan bu,.” Jawab ku. “kenapa hanya sedikit pak,,, kalo tidak di masukkan ke dalam kelas, papan itu akan habis diambilkan oleh warga lho pak...” lanjutnya, “kelas kita tidak muat untuk dimasuki papan bu, kita hanya punya 4 lokal, dan papan itu cukup mengganggu jika berada di dalam kelas...mungkin nanti kita akan pikirkan lagi.” Sambil aku masuk ke dalam kelas. Dalam hati aku sempat berpikir, kenapa papan itu harus di masukkan ke dalam kelas, dan kenapa pula warga di sini harus mengambilkan papan lapangan, padahal itu milik sekolah. Bukan seharusnya bersama – sama kerja bakti untuk memperbaiki lapangan yang rusak dengan bahan seadanya, agar bisa di gunakan lagi oleh anak – anak, kok ini malah diambili bahan – bahan yang ada. Padahal yang sekolah disini juga anak – anak mereka. Ada apa dengan warga disini. Memang benar saja,  setelah saya amati papan – papan bekas robohan lapangan sudah berkurang 60 %.
Akhirnya lamunan saya pun terpecahkan, saat ada seseorang dari luar kelas mengetok pintu kelas. “ pak boleh kah saya minta papan nya untuk beberapa lembar” ucapnya. Baru saja di pikirkan sudah ada yang meminta papan lagi. “rencana semua papan – papan itu untuk pembuatan taman sekolah pak kalo ada sisanya” jawab ku. “tapi saya tidak minta banyak pak, saya hanya minta beberapa lembar papan saja” paksanya. “ya sudah pak ambil saja kalo bapak butuh, tapi saya tanyakan guru yang lainnya pak”. Setelah di izinkan akhirnya lelaki tua itu pun mengambil beberapa papan dan menuju ke sebuah bangunan TK / PAUD yang terletak bersebelahan dengan sekolah. Aku pun mulai memperhatikan dia, dan sangat kaget serta menyentak hati ku dengan apa yang di perbuatnya. Ternyata papan yang dipintanya di gunakan untuk membuat tangga dan menutup dinding serta lantai gedung TK yang telah lapuk dan bolong – bolong. Aku pun mendekati dia dan bertanya “ apa yang pak kilo lakukan pak ?” sambil memukulkan paku dengan palu dia menjawab “ ini guru, saya khawatir dengan anak-anak kalau sedang bermain di gedung ini, takut menginjak lobang – lobang ini dan terjatuh, kalau tangga ini agar anak – anak gampang masuk kelas, karena jarak jembatan dan gedung terlalu tinggi, kasihan anak – anak tk susah masuk kelasnya”.
Seperti tersengat listrik jiwa ini ketika mendengar jawaban dan ulah laki – laki tua ini. Selama ini semua orang hanya peduli dengan kebutuhan pribadinya, mengambil papan hanya untuk memperbaiki rumah – rumahnya. Begitu juga kami guru – guru disini yang hanya terpikir membangun taman sekolah, tanpa melihat tetangga sekolah yakni gedung TK yang sudah lapuk dan lebih membutuhkan. Kemana pikiran kami selama ini, seorang yang telah lanjut usia seperti pak kilo saja mau berbuat, bahkan untuk mengangkat papan – papan yang tidak mudah ringan untuk kondisinya, yang mungkin untuk berjalan saja dia susah. Tapi kali ini aku belajar bagaimana kesederhanaan jiwa dalam kepedulian seorang laki – laki tua ini.
Mulai saat itu, aku selalu memperhatikan lelaki tua itu. Dan ternyata dia adalah seorang petugas kebersihan kantor kepala desa. Sebuah kantor desa yang tidak pernah buka. Karena kepala desa dan aparat desa lebih banyak menghabiskan waktunya di kota kabupaten ketimbang berada di desa. Seperti biasanya kantor kepala desa itu tertutup rapat dengan sebuah gembok besar. Dan pagi itu seperti biasa pak kilo membuka kantor desa, meskipun dia sadar bahwa kepala desa dan aparatur desa tidak akan beraktivitas di gedung itu. Setelah pintu terbuka dengan langkah tertatih dia mengambil sebuah bendera dan menaikan bendera itu, ke tiang bendera. Di sore harinya dia pun kembali ke kantor desa dan menurunkan bendera serta menyimpanya dengan rapi ke dalam kantor desa, sebelum dia mengunci kantor desa. Itulah yang dia lakukan setiap  hari, kecuali sabtu dan minggu, dengan seorang diri. Aku pernah bertanya, “pak kenapa bapak mengibarkan bendera padahal kantor desa ini tidak pernah buka”. Dengan sederhana dia menjawab “biar kita ndak di jajah belanda lagi pak”.

Betapa simpel dan sederhana jawaban lelaki tua ini, namun kalau aku amati sangat dalam makna kata – katanya. Mungkin selama ini aku berpikir bendera hanyalah simbol negara saja, namun pak kilo tahu persis betapa susahnya perjuangan para pahlawan untuk mengibarkan bendera agar tanah air ini terbebas dari penjajah. Aku sempat berpikir mungkin pak kilo juga salah satu pahlawan di desa ini, yang selalu menjaga nasionalisme di sebuah pulau terpencil di sebuah teluk ampar, ujung kalimantan timur.

No comments:

Post a Comment