Abdul ghani, adalah seorang laki – laki tua yang berusia lebih
80 tahun, yang biasa di panggil pak kilo oleh masyarakat di desa labuang kallo.
Sekilas tidak ada yang istimewa dengan orang tua ini, sama seperti lansia pada
umumnya, pak kilo tampak sudah sangat tua, dengan tulang belakang agak sedikit
bongkok, dan kulit yang sudah sangat keriput. Dengan kegiatan sehari – harinya
memacing ikan di atas jembatan yang kemudian di asinkan untuk di jual. Di balik
usia yang mulai senja, pak kilo memiliki jiwa semangat nasionalisme nya dan
rasa kecintaan pada anak – anak yang luar biasa.
Saat itu hari senin, seperti pada sekolah pada umumnya yang
melakukan rutinitas upacara bendera. Sekolah kami pun melakukan hal yang sama.
Namun kami melakukan upacara bendera tidak sama seperti sekolah lainnya yang
dilakukan di halaman atau lapangan sekolah. Kami melakukan nya di teras kelas,
ini dikarenakan sekolah kami yang berada di pesisir pantai yang selalu
tergenang air laut ketika pasang, sehingga tidak memiliki halaman sekolah. Satu
– satu nya lapangan kami yang berbentuk panggung ukuran 6 x 10 meter telah
roboh dan hancur dimakan usia dan terjangan air pasang laut. Namun niat kami untuk
melakukan upacara tetap kami lakukan sebagai rasa syukur kemerdekaan di atas
keterbatasan fasilitas yang ada.
Setelah upacara, kami pun bergegas untuk memasuki kelas masing –
masing. Sebelum masuk kelas aku sempat melakukan percakapan dengan salah satu guru
yang bernama bu ros. “ pak...sudah kah anak – anak menaruh papan sisa lapangan
yang roboh ke dalam kelas?” tanyanya. “ sudah bu, mungkin sekitar belasan papan
bu,.” Jawab ku. “kenapa hanya sedikit pak,,, kalo tidak di masukkan ke dalam
kelas, papan itu akan habis diambilkan oleh warga lho pak...” lanjutnya, “kelas
kita tidak muat untuk dimasuki papan bu, kita hanya punya 4 lokal, dan papan
itu cukup mengganggu jika berada di dalam kelas...mungkin nanti kita akan
pikirkan lagi.” Sambil aku masuk ke dalam kelas. Dalam hati aku sempat
berpikir, kenapa papan itu harus di masukkan ke dalam kelas, dan kenapa pula
warga di sini harus mengambilkan papan lapangan, padahal itu milik sekolah.
Bukan seharusnya bersama – sama kerja bakti untuk memperbaiki lapangan yang
rusak dengan bahan seadanya, agar bisa di gunakan lagi oleh anak – anak, kok
ini malah diambili bahan – bahan yang ada. Padahal yang sekolah disini juga
anak – anak mereka. Ada apa dengan warga disini. Memang benar saja,
setelah saya amati papan – papan bekas robohan lapangan sudah berkurang 60 %.
Akhirnya lamunan saya pun terpecahkan, saat ada seseorang dari
luar kelas mengetok pintu kelas. “ pak boleh kah saya minta papan nya untuk
beberapa lembar” ucapnya. Baru saja di pikirkan sudah ada yang meminta papan
lagi. “rencana semua papan – papan itu untuk pembuatan taman sekolah pak kalo
ada sisanya” jawab ku. “tapi saya tidak minta banyak pak, saya hanya minta
beberapa lembar papan saja” paksanya. “ya sudah pak ambil saja kalo bapak
butuh, tapi saya tanyakan guru yang lainnya pak”. Setelah di izinkan akhirnya
lelaki tua itu pun mengambil beberapa papan dan menuju ke sebuah bangunan TK /
PAUD yang terletak bersebelahan dengan sekolah. Aku pun mulai memperhatikan
dia, dan sangat kaget serta menyentak hati ku dengan apa yang di perbuatnya.
Ternyata papan yang dipintanya di gunakan untuk membuat tangga dan menutup
dinding serta lantai gedung TK yang telah lapuk dan bolong – bolong. Aku pun
mendekati dia dan bertanya “ apa yang pak kilo lakukan pak ?” sambil memukulkan
paku dengan palu dia menjawab “ ini guru, saya khawatir dengan anak-anak kalau
sedang bermain di gedung ini, takut menginjak lobang – lobang ini dan terjatuh,
kalau tangga ini agar anak – anak gampang masuk kelas, karena jarak jembatan
dan gedung terlalu tinggi, kasihan anak – anak tk susah masuk kelasnya”.
Seperti tersengat listrik jiwa ini ketika mendengar jawaban dan
ulah laki – laki tua ini. Selama ini semua orang hanya peduli dengan kebutuhan
pribadinya, mengambil papan hanya untuk memperbaiki rumah – rumahnya. Begitu
juga kami guru – guru disini yang hanya terpikir membangun taman sekolah, tanpa
melihat tetangga sekolah yakni gedung TK yang sudah lapuk dan lebih
membutuhkan. Kemana pikiran kami selama ini, seorang yang telah lanjut usia
seperti pak kilo saja mau berbuat, bahkan untuk mengangkat papan – papan yang
tidak mudah ringan untuk kondisinya, yang mungkin untuk berjalan saja dia
susah. Tapi kali ini aku belajar bagaimana kesederhanaan jiwa dalam kepedulian
seorang laki – laki tua ini.
Mulai saat itu, aku selalu memperhatikan lelaki tua itu. Dan
ternyata dia adalah seorang petugas kebersihan kantor kepala desa. Sebuah
kantor desa yang tidak pernah buka. Karena kepala desa dan aparat desa lebih
banyak menghabiskan waktunya di kota kabupaten ketimbang berada di desa.
Seperti biasanya kantor kepala desa itu tertutup rapat dengan sebuah gembok
besar. Dan pagi itu seperti biasa pak kilo membuka kantor desa, meskipun dia
sadar bahwa kepala desa dan aparatur desa tidak akan beraktivitas di gedung itu.
Setelah pintu terbuka dengan langkah tertatih dia mengambil sebuah bendera dan
menaikan bendera itu, ke tiang bendera. Di sore harinya dia pun kembali ke
kantor desa dan menurunkan bendera serta menyimpanya dengan rapi ke dalam
kantor desa, sebelum dia mengunci kantor desa. Itulah yang dia lakukan setiap
hari, kecuali sabtu dan minggu, dengan seorang diri. Aku pernah bertanya,
“pak kenapa bapak mengibarkan bendera padahal kantor desa ini tidak pernah
buka”. Dengan sederhana dia menjawab “biar kita ndak di jajah belanda lagi
pak”.
Betapa simpel dan sederhana jawaban lelaki tua ini, namun kalau
aku amati sangat dalam makna kata – katanya. Mungkin selama ini aku berpikir
bendera hanyalah simbol negara saja, namun pak kilo tahu persis betapa susahnya
perjuangan para pahlawan untuk mengibarkan bendera agar tanah air ini terbebas
dari penjajah. Aku sempat berpikir mungkin pak kilo juga salah satu pahlawan di
desa ini, yang selalu menjaga nasionalisme di sebuah pulau terpencil di sebuah
teluk ampar, ujung kalimantan timur.
No comments:
Post a Comment