Blogroll

Wednesday, 6 November 2013

Haji Kambote Sang Penakluk Labuang Kallo


Saat itu aku sedang mengajar di kelas dua, dan tepatnya sedang belajar pelajaran kewarganegaraan. Saat itu aku mencoba mengajarkan anak-anak ku tentang betapa besarnya negara kita, indonesia. Aku bertanya kepada siswa – siswa ku, “siapa presiden kita anak-anak...siapa yang tahu?” mereka terdiam. Lalu aku mencoba menjelaskan apa itu presiden. “Presiden itu adalah orang yang mengatur sebuah negara, dia memimpin untuk bertanggung jawab mengelolah suatu negara, lalu presiden itu......” belum aku selesai menjelaskan sebagian mereka berteriak... “ Haji kambote pak.....iya haji kambote...haji kambote....haji kambote” siswa –siswa ku menjawab. “siapa haji kambote?”...jawab ku. “ haji kambote presiden pak,,,dia yang mengatur labuang kallo”. Begitulah komentar mereka. Saat itu nama “haji kambote” adalah sosok yang selalu membuatku penasaran dengan keberadaannya.
Tidak lama kejadian itu terjadi kembali, saat aku mengajarkan pelajaran agama. Ketika aku bertanya kepada mereka; “siapa yang menciptakan tanah dan air di labuang kallo?” mereka serentak menjawab : “haji kambote paaaak”....lagi-lagi haji kambote, saya jadi sangat penasaran dengan sosok seseorang yang bernama “haji kambote”. Sesosok yang selalu berada di pikiran siswa-siswa ku. Sosok yang bahkan lebih dikenal di bandingkan oleh seorang Presiden Republik ini dan juga bahkan pencipta tanah air di labuang kallo.
Kamis siang sekitar jam 14.00. siang itu  seperti biasanya aku menuju sekolah untuk mengajarkan ekstra kulikuer dengan siswaku,  namun ada sesuatu yang aneh yang tidak biasanya. Jalan –jalan di desa ini yang berupa jembatan kayu sangat sepi. Tidak ada orang yang berlalu lalang seperti biasanya. Tidak ada yang berjualan untuk menjajakan makanan, tidak ada anak – anak yang keluar untuk bermain, padahal hari begitu cerah untuk keluar rumah. Kemana orang – orang desa ini. Akhirnya aku sampai di sekolah, dan sesampainya di sekolah ada salah satu guru yang berbicara kepada ku, “ pak cepat masuk, haji kambote lagi mengamuk, anjingnya si “rambo” meninggal karena di racun”. Belum sempat aku menjawab, tiba- tiba datanglah sosok besar dan suara yang lantang dari ke jauhan sambil mengacungkan pistolnya ke udara. “siapa yang membunuh ramboooo.....Mau makan peluru kah”. Aku baru sadar kenapa desa ini sangat sepi, karena sang penakluk labuang kallo sedang murka, itu yang terlintas di pikiranku.
Informasi yang ku dapat dari masyarakat, haji kambote pernah 2 kali masuk penjara karena tindak kriminal membunuh seseorang, karena prestasinya itu, semua orang segan terhadapnya. Ini di perkuat juga karena beliau adalah ayah dari seorang kepala desa yang sangat menentukan semua kebijakan pemerintahan di desa ini. Tapi, siapa yang menyangka di balik wajah nya yang sangat beringas dan karakter yang kuat. Beliau adalah salah satu tokoh di desa yang sangat peduli karena pendidikan. Beliau pernah berdiskusi denganku, intinya beliau pernah berkata “ pak saya sangat menyesal kenapa saya dan anak saya tidak sekolah, jadi saya tidak bisa menyalonkan menjadi dewan, karena itu pak... saya mau cucu saya harus pintar, harus sekolah, cukup khai nya (kakeknya) saja yang bodoh yang tidak sekolah... saya akan bantu apapun itu asal demi pendidikan di desa ini pak... bilang sama saya pak kalo ada orang tua yang jahat sama guru – guru, biar saya tembak dia” ternyata penampilan tidak selalu cerminan hati.
Sekolah kami baru saja di bangunkan lapangan baru yang berukuran 25 x 35 meter persegi. Sebuah lapangan panggung yang terbuat dari kayu ulin. Dan itu salah satu bukti ketegasan haji kambote, kenapa beliau lah yang dengan lantang menyetujui pembangunan lapangan, ketika saya dan guru –guru mencoba pengajuan pembangunan lapangan dalam forum penentuan anggaran penggunaan dana desa. Beliau dengan lantang menyuarakan aspirasi sekolah, “kami siap membangunkan nya pak, kita buat lapangan yang terluas yang ada di kecamatan ini, kalo ada pihak yang kurang setuju, biar saya yang berhadapannya dengannya...”senyum kemenanganpun menghiasi wajah kami. Dialah yang menyetir anaknya sebagai kepala desa.
Tidak hanya itu, smp satu atap yang baru saja di dirikan di desa ini juga, turut andil dari keberaniannya menghadap pemerintah daerah. Beliau lah yang selalu membujuk aku untuk menghadap ke pak bupati, ketika aku menemukan kebuntuan dalam advokasi pendidikan kepada kepala dinas pendidikan. Maklum beliau adalah orang dekat pak bupati, jadi apa – apa selalu bupati. Dengan modal tanda tangan seluruh warga yang menyetujui pembangunan SMP di desa ini, saya, kepala sekolah dan kepala desa yang tentunya di dampingi haji kambote yang layaknya seperti body guard menemui kepala dinas pendidikan. Di dalam diskusi kami, lagi – lagi haji kambote mengeluarkan kelantangannya. “pak kepala dinas, desa kami ini di pulau kecil yang terpisahkan lautan, jikalau harus ke kecamatan harus 1, 5 jam menyebrang, dan taruhan nya nyawa jika musim angin laut besar, yang kami minta bukan untuk pembangunan pasar atau tempat perjudian. Yang kami minta hanya pembangunan smp agar anak – anak kami tidak putus sekolah pak, kami juga ingin melihat anak-anak nelayan pintar dan berhasil”. Tanpa jeda pak haji kambote menghujani kepala dinas pendidikan, akhirnya sekolah SMP satu atap pun berhasil di dirikan di desa labuang kallo.
Haji kambote sang penakluk labuang kallo, tidak salah kenapa engkau sangat di segani warga desa, bahkan anak – anak disini menempatkan mu lebih dari seorang presiden. Tidak salah kalau nama mu lah yang selalu ada dalam pikiran siswa – siswa ku. Sosok seorang mantan napi dan kriminalitas yang bahkan lebih dekat dan peduli dengan pendidikan.

Pak kilo...jiwa nasionalisme yang tak pernah tua.


Abdul ghani, adalah seorang laki – laki tua yang berusia lebih 80 tahun, yang biasa di panggil pak kilo oleh masyarakat di desa labuang kallo. Sekilas tidak ada yang istimewa dengan orang tua ini, sama seperti lansia pada umumnya, pak kilo tampak sudah sangat tua, dengan tulang belakang agak sedikit bongkok, dan kulit yang sudah sangat keriput. Dengan kegiatan sehari – harinya memacing ikan di atas jembatan yang kemudian di asinkan untuk di jual. Di balik usia yang mulai senja, pak kilo memiliki jiwa semangat nasionalisme nya dan rasa kecintaan pada anak – anak yang luar biasa.
Saat itu hari senin, seperti pada sekolah pada umumnya yang melakukan rutinitas upacara bendera. Sekolah kami pun melakukan hal yang sama. Namun kami melakukan upacara bendera tidak sama seperti sekolah lainnya yang dilakukan di halaman atau lapangan sekolah. Kami melakukan nya di teras kelas, ini dikarenakan sekolah kami yang berada di pesisir pantai yang selalu tergenang air laut ketika pasang, sehingga tidak memiliki halaman sekolah. Satu – satu nya lapangan kami yang berbentuk panggung ukuran 6 x 10 meter telah roboh dan hancur dimakan usia dan terjangan air pasang laut. Namun niat kami untuk melakukan upacara tetap kami lakukan sebagai rasa syukur kemerdekaan di atas keterbatasan fasilitas yang ada.
Setelah upacara, kami pun bergegas untuk memasuki kelas masing – masing. Sebelum masuk kelas aku sempat melakukan percakapan dengan salah satu guru yang bernama bu ros. “ pak...sudah kah anak – anak menaruh papan sisa lapangan yang roboh ke dalam kelas?” tanyanya. “ sudah bu, mungkin sekitar belasan papan bu,.” Jawab ku. “kenapa hanya sedikit pak,,, kalo tidak di masukkan ke dalam kelas, papan itu akan habis diambilkan oleh warga lho pak...” lanjutnya, “kelas kita tidak muat untuk dimasuki papan bu, kita hanya punya 4 lokal, dan papan itu cukup mengganggu jika berada di dalam kelas...mungkin nanti kita akan pikirkan lagi.” Sambil aku masuk ke dalam kelas. Dalam hati aku sempat berpikir, kenapa papan itu harus di masukkan ke dalam kelas, dan kenapa pula warga di sini harus mengambilkan papan lapangan, padahal itu milik sekolah. Bukan seharusnya bersama – sama kerja bakti untuk memperbaiki lapangan yang rusak dengan bahan seadanya, agar bisa di gunakan lagi oleh anak – anak, kok ini malah diambili bahan – bahan yang ada. Padahal yang sekolah disini juga anak – anak mereka. Ada apa dengan warga disini. Memang benar saja,  setelah saya amati papan – papan bekas robohan lapangan sudah berkurang 60 %.
Akhirnya lamunan saya pun terpecahkan, saat ada seseorang dari luar kelas mengetok pintu kelas. “ pak boleh kah saya minta papan nya untuk beberapa lembar” ucapnya. Baru saja di pikirkan sudah ada yang meminta papan lagi. “rencana semua papan – papan itu untuk pembuatan taman sekolah pak kalo ada sisanya” jawab ku. “tapi saya tidak minta banyak pak, saya hanya minta beberapa lembar papan saja” paksanya. “ya sudah pak ambil saja kalo bapak butuh, tapi saya tanyakan guru yang lainnya pak”. Setelah di izinkan akhirnya lelaki tua itu pun mengambil beberapa papan dan menuju ke sebuah bangunan TK / PAUD yang terletak bersebelahan dengan sekolah. Aku pun mulai memperhatikan dia, dan sangat kaget serta menyentak hati ku dengan apa yang di perbuatnya. Ternyata papan yang dipintanya di gunakan untuk membuat tangga dan menutup dinding serta lantai gedung TK yang telah lapuk dan bolong – bolong. Aku pun mendekati dia dan bertanya “ apa yang pak kilo lakukan pak ?” sambil memukulkan paku dengan palu dia menjawab “ ini guru, saya khawatir dengan anak-anak kalau sedang bermain di gedung ini, takut menginjak lobang – lobang ini dan terjatuh, kalau tangga ini agar anak – anak gampang masuk kelas, karena jarak jembatan dan gedung terlalu tinggi, kasihan anak – anak tk susah masuk kelasnya”.
Seperti tersengat listrik jiwa ini ketika mendengar jawaban dan ulah laki – laki tua ini. Selama ini semua orang hanya peduli dengan kebutuhan pribadinya, mengambil papan hanya untuk memperbaiki rumah – rumahnya. Begitu juga kami guru – guru disini yang hanya terpikir membangun taman sekolah, tanpa melihat tetangga sekolah yakni gedung TK yang sudah lapuk dan lebih membutuhkan. Kemana pikiran kami selama ini, seorang yang telah lanjut usia seperti pak kilo saja mau berbuat, bahkan untuk mengangkat papan – papan yang tidak mudah ringan untuk kondisinya, yang mungkin untuk berjalan saja dia susah. Tapi kali ini aku belajar bagaimana kesederhanaan jiwa dalam kepedulian seorang laki – laki tua ini.
Mulai saat itu, aku selalu memperhatikan lelaki tua itu. Dan ternyata dia adalah seorang petugas kebersihan kantor kepala desa. Sebuah kantor desa yang tidak pernah buka. Karena kepala desa dan aparat desa lebih banyak menghabiskan waktunya di kota kabupaten ketimbang berada di desa. Seperti biasanya kantor kepala desa itu tertutup rapat dengan sebuah gembok besar. Dan pagi itu seperti biasa pak kilo membuka kantor desa, meskipun dia sadar bahwa kepala desa dan aparatur desa tidak akan beraktivitas di gedung itu. Setelah pintu terbuka dengan langkah tertatih dia mengambil sebuah bendera dan menaikan bendera itu, ke tiang bendera. Di sore harinya dia pun kembali ke kantor desa dan menurunkan bendera serta menyimpanya dengan rapi ke dalam kantor desa, sebelum dia mengunci kantor desa. Itulah yang dia lakukan setiap  hari, kecuali sabtu dan minggu, dengan seorang diri. Aku pernah bertanya, “pak kenapa bapak mengibarkan bendera padahal kantor desa ini tidak pernah buka”. Dengan sederhana dia menjawab “biar kita ndak di jajah belanda lagi pak”.

Betapa simpel dan sederhana jawaban lelaki tua ini, namun kalau aku amati sangat dalam makna kata – katanya. Mungkin selama ini aku berpikir bendera hanyalah simbol negara saja, namun pak kilo tahu persis betapa susahnya perjuangan para pahlawan untuk mengibarkan bendera agar tanah air ini terbebas dari penjajah. Aku sempat berpikir mungkin pak kilo juga salah satu pahlawan di desa ini, yang selalu menjaga nasionalisme di sebuah pulau terpencil di sebuah teluk ampar, ujung kalimantan timur.